Story Behind My Previous Novel

Kalau ditanya lagi, momen apa yang paling membahagiakan (selain momen idul fitri waktu dapat angpao), aku pasti langsung merujuk pada momen ketika novel karyaku nangkring di toko buku.

Aku mulai menulis ketika SD. Kegemaran menulis berawal dari kebiasaan membaca. Yups, keluargaku temasuk ketat dalam hal membaca. Sejak balita orang tuaku sengaja langganan majalah anak-anak (pada waktu itu BOBO). Dengan telatin Ibu/Bapak membacakan cerita setiap hari sampai akhirnya aku bisa membaca dengan mandiri. Sejak kecil juga. Membaca sudah menjadi kebutuhan tersendiri buat aku. Sampai pada satu titik Bapak mengutarakan harapannya, beliau ingin suatu hari aku bisa menghasilkan sebuah karya yang dapat dikenal luas. Semula aku cuma ‘iya-iya’ saja (khas anak kelas 3 SD yang masih menye-menye). Tapi hasrat untuk menulis tiba-tiba muncul ketika aku mulai mengagumi seseorang. Aku iseng-iseng membuat cerita, dimulai dari dialog-dialog alay yang nge-trend pada jaman itu. Dan bentuk-bentuk tulisan lain yang bikin merinding ketika sekarang aku membacanya.

Kelas 3 SMP, awal mula aku bersikukuh untuk mulai menulis novel. Dengan kemampuan ala kadarnya (waktu itu sedikit mencontek gaya tulisan Icha Rahmanti) aku mulai menulis novel COKLAT. Tapi perjalanan menulis coklat tidak semulus pantat bayi haha. Aku berhenti di tengah jalan karena kesibukan UN. Naskah yang kutulis itupun terlupakan. Baru saat kenaikan kelas 10 aku menemukan coretan-coretan itu di tumpukan buku dalam kardus dan hasrat untuk menulis kembali muncul.

Butuh waktu cukup lama untuk menyelesaikan novel COKLAT. Hingga akhirnya novel itu selesai dan aku bingung harus bagaimana? Dibiarkan saja, dicetak untuk dibaca sendiri atau diterbitkan. Dengan alur cerita yang tidak terdug novel pertamaku berhasil terbit. Disitu hidupku serasa berubah. Orang-orang mulai mengenalku, memujiku, dan ‘tentu’ mulai membenciku. Setelah novel COKLAT terbit, novelku yang lain juga terbit seperti AstanaDewa, Blue Light In Seoul dan Dream Holes.

Tapi dunia kepenulisan tidak seindah yang kubayangkan (dalam bayangan seorang anak SMA yang lugu waktu itu, aku cuma harus menulis apa yang kusukai, mengirimnya ke penerbit, naik cetak, mejeng di toko buku dan dapat royalti). Aku mulai jatuh berkali-kali. ‘Siapa yang tidak dapat bertahan harus pergi!’. Itu terjadi padaku. Aku tidak tahan dengan dunia kepenulisan saat itu (yang mana penulis satu dan yang lain saling jegal). Selain itu aku juga bermasalah dengan penerbit karena suatu hal yang bagiku saat itu berdampak besar. Dan akhirnya kuputuskan untuk BERHENTI.

Sampai sekarang aku masih memegang gelar ‘mantan’ penulis. Yang dinanti-nanti karyanya sekaligus dicemooh karena berhenti di tengah jalan tanpa memberi pernyataan apapun. Sekarang pun aku tidak ingin memaksakan diri. Yang terpenting bagiku adalah aku tetap menulis. Aku tidak mau lagi mendengar cemoohan orang-orang. Aku berhenti menulis karena waktu itu aku mendengar mereka.

Memang betul, apapun yang dimulai dari keteguhan hati akan berlangsung lebih lama bahkan selamanya.

Dan untuk diriku yang sekarang: aku tidak akan jatuh untuk yang kedua kalinya.