Siluet Jingga (Prologue)

Siluet Jingga.

“Jadi kamu ditolak?”

Joa mengangguk santai, kembali menyedot americano dingin yang hampir kosong di gelas dalam genggamannya.

“Kurang pendiam. Sama sekali nggak cocok jadi istri seorang diplomat,” Nin coba menjelaskan. Ekor mata kirinya bergerak melirik Joa yang diam. Tidak ada perubahan ekspresi di wajah Joa yang merah di beberapa bagian, terbakar matahari.

Sejurus kemudian Lie Lie, gadis keturunan tionghoa bermata sipit sahabat Joa menjulurkan kepala mendekat pada Joa. Tatapannya penuh selidik, sebelum senyum mencibir terbit di bibirnya yang terpulas lipstik merah muda.

“Tapi kamu menangis ‘kan,” cibirnya.

Joa menurunkan gelas di tangannya ke atas meja. Gadis berperawakan tinggi kurus itu menarik nafas panjang, dan menghembuskannya dengan serampangan.

“Lie Lie dimana-mana yang namanya penolakan itu menyakitkan. Terlepas aku menyukai cowok itu atau enggak.” Joa akhirnya buka suara. Detik berikutnya ekspresi Joa berubah. Dari yang awalnya kalem, jadi lebih kaku penuh amarah terpendam. “Seharusnya aku nggak dengarkan kata-kata Ibu.”

Kedua sahabat Joa sejak di bangku perkuliahan menanggapi dengan tersenyum. Mereka sangat tahu perasaan yang sedang membelenggu Joa. Gadis cantik itu sedang sial. Dia baru saja ditolak oleh pria yang bahkan sudah melamarnya langsung pada Ibu sebanyak tiga kali. Joa menyesali keputusannya untuk mencoba membuka hati karena pada akhirnya pria itu melontarkan talak begitu saja. Mengakhiri hubungan –yang bahkan belum dimulai- sebab Joa bukan perempuan kalem yang pria itu idam-idamkan.

“I just want to show him the real me!” Joa berseru kesal. Tangannya menyambar gelas americano yang permukaannya berembun dari atas meja. “Siapa juga yang mau jadi istri diplomat!”

Nin mengelus lengan kurus Joa. Gadis ini memang malang. Nol besar dalam urusan asmara dan sekalinya berani mengambil keputusan besar untuk menjalin hubungan serius dengan seorang pria, dia malah dicampakan.

“Sudah, sudah, nggak usah kamu pikirkan lagi. Anggap saja Ichsan cuma remahan roti. Dia jelas-jelas nggak cocok buat kamu,” Nin mencoba menenangkan Joa sambil terus mengelus-elus lengan gadis itu.

“Kamu nggak lupa sama ambisimu karena sibuk dengan fantasi-fantasi menjadi seorang istri teladan ‘kan?” Lie Lie menurunkan sedekap tangannya. “Ayolah Joa, broken heart is just piece of cake. Banyak hal besar sudah menanti di depan mata. Kamu mau kupinjami uang untuk beli peralatan recording baru?” tawar Lie Lie yang sebenarnya was-was jika Joa berkata ‘iya’. Tapi untuk sahabatnya yang sedang dirundung duka, Lie Lie akan merelakan tabungannya.

“Nggak perlu, ujung-ujungnya kamu akan terus-terusan menagihku. Peralatanku sudah cukup lengkap dan masih sangat bagus.”

Joa menaikkan kaki ke atas meja. Tak perduli dengan pandangan orang-orang yang memadati salah satu kedai Kopi di Lombok Epicentrum Mall. Mata gadis itu sejenak terpejam. Berusaha secepatnya mengubah suasana hati dengan mencari topik pembahasan baru. Berlarut-larut memikirkan masalah penolakan sialan itu bisa jadi masalah besar.

“Aku berhasil menangkap momen sunset yang keren banget di Sunset House Senggigi,” kata Joa yang sudah mulai normal. Bibirnya sudah tunjukkan senyuman meski tipis. “Kalian mau melihat?”

Bersamaan, Nin dan Lie Lie mengangguk. Mereka menunggu Joa yang sedang mencari-cari foto sunset di galeri kameranya. Namun tubuh Joa mendadak merosot, wajahnya muram lagi.

“Gagal!” rutuk Joa dalam hati. Memang benar, yang namanya penolakan itu menyakitkan. Joa tak bisa menyangkalnya.

“Hei… Kamu kenapa lagi!” Nin berseru.

“Kenapa sih, aku selalu apes kalau urusan cinta. Kalian pasti ingat ‘kan, aku pernah sembilan tahun mencintai orang yang nggak cinta sama aku. Malangnya, dia musuhin aku dari SMA. Aku sejelek itu ya?”

Lie Lie memukul kepala Joa, “Kamu cantik Joa. Cantik banget.”

Joa terdiam. Sahabatnya sudah sangat sering memberitahu kalau dia cantik. Punya visual yang diimpikan banyak perempuan. Berwajah mungil, hidung bangir, mata bulat-tajam dan bibir tipis. Rambut Joa hitam lurus, semula panjang tapi kini dia memotongnya pendek karena tak ingin disusahkan dengan ritual merawat rambut. Mengingat pekerjaannya berhubungan dengan hal-hal berbau tempat terbuka.

“Tapi nggak ada yang suka sama aku Lie. Atau mungkin karena aku cerewet?”

“Kamu berlebihan,” tegur Nin. “Sebaliknya, banyak orang senang berada di dekatmu karena kemampuanmu itu,” Nin membuat gerakan tangan untuk memeragakan kecerewetan Joa.

“Senang sebatas teman,” Joa mengerecutkan bibir.

“Jo, sejak kapan kamu meributkan hal-hal yang kamu anggap remeh. Sudah, kembalilah menjadi Joa yang seperti biasanya.”

Joa masih betah mengerucutkan bibir. Perasaan khawatir tidak bisa menikah mendadak menyekapnya. Aneh, karena Joa tidak pernah merasakan ketakutan akan satu hal itu. Menikah bahkan bukan prioritasnya. Namun setelah Ichsan mencampakannya, rasa takut tidak akan ada pria yang mempersuntingnya jadi menggelegak.

“Aku menceritakan masalahmu pada Nji dan dia mengumpat,” kata Nin membelah diam.

“Menghancurkan beberapa mangkuk ramen juga mungkin,” Lie Lie mengimbuhi.

“Oh ya, kapan anak itu pulang ke Lombok?” tanya Joa. Bibirnya mencari-cari ujung sedotan yang tak berbentuk karena digigiti.

“Harusnya minggu ini. Nggak tahu kalau dia dan tamunya extend,” jawab Nin yang punya intensitas berkomunikasi lebih sering dengan Nji dibanding yang lain.

“Oh iya, aku ‘kan mau menunjukkan foto sunset pada kalian,” Joa menekan-nekan tombol next kameranya penuh semangat lalu menyerahkan kamera kesayangannya pada Nin dan Lie Lie. “Sayang sekali kalian menolak ajakanku. Sunset-nya bagus banget.”

Lie Lie maupun Nin tidak menyahut karena fokus dengan foto-foto hasil jepretan Joa. Gadis itu adalah travel vlogger yang cinta mati pada senja dan matahari tenggelam. Alasan itu pulalah yang membuatnya bersikukuh pindah dari Yogya ke Lombok. Menurut Joa, sunset di Lombok adalah yang terbaik di dunia.

Setelah kepindahan Joa ke Lombok, Nin dan Lie Lie mengikuti. Mereka berlomba-lomba mencari pekerjaan di Lombok. Dan seperti inilah endingnya, mereka berkumpul kembali. Lengkap dengan Nji yang asli Lombok.

“Joa, foto ini bagus sekali,” Nin menyodorkan kamera pada Joa.

Joa melirik sekilas, tak perlu sampai memperhatikan betul-betul untuk tahu foto mana yang Nin katakan bagus.

“Aku sengaja memotretnya, postur tubuh dan kontur wajahnya sempurna untuk jadi objek foto siluetku,” terang Joa.

Nin dan Lie Lie memperbesar foto yang memperlihatkan sesosok pria yang duduk di pinggir pantai. Pria itu berhidung sangat mancung, seperti angka tujuh terbalik. Dia punya dahi indah yang tidak tertutup helai-helai rambut dan bulu mata yang kelewat lentik untuk seorang pria. Pria itu seperti sebuah patung yunani, bergeming elegan sedang ditangannya ada sebuah buku yang terbuka.

“Pasti dia tampan. Sayangnya siluet, jadi nggak bisa melihat wajahnya,” keluh Lie Lie.

“Salahmu nggak mau ikut. Tapi ada bagusnya kamu nggak ikut karena aku nggak mau melihatmu menyembah-nyembah di bawah kaki cowok itu untuk mendapatkan nomornya.”

Lie Lie refleks menghadiahkan sebuah pukulan tepat di kepala Joa. Membuat Joa meringis kesakitan.

“Bagaimana perasaanmu Joa? Jauh lebih baik?” Nin bertanya.

“Jauh lebih baik,” jawab Joa. “Aku berjanji akan lebih fokus bekerja. Tidak akan memikirkan hal-hal berbau asmara dan cinta.”

Nin dan Lie Lie mencebik mengejek Joa. “Beberapa menit yang lalu kamu masih merengek sedih karena kamu bilang nggak ada orang yang suka kamu,” Nin membuat tanda kutip dengan tangannya di atas kepala.

Joa yang disindir hanya terkekeh kalah. Gadis itu menghabiskan americano yang tersisa di gelasnya kemudian bangkit berdiri.

“Aku harus mengedit video sebelum kuunggah ke channel youtube. Aku pulang duluan ya.”

“Hmm,” Lie Lie mengizinkan dengan sebuah gumaman singkat.

“Kabari aku jika sudah sampai rumah. Jangan menangis lagi atau kamu mati di tanganku.”

“Iya, iya Nin,” sergah Joa. Gadis itu berjalan keluar dari balik meja. Melambaikan tangan sebelum beranjak pergi. Namun di ambang pintu kedai kopi Joa mendadak memutar tubuh ke arah kedua sahabatnya yang mulai asik mengobrolkan sebuah topik. “Aku nggak akan berhubungan dengan cowok manapun lagi,” bola mata Joa berputar. “Pada waktu dekat-dekat ini,” lanjutnya sambil nyengir lucu.

“Pegang kata-katamu. Jangan goyah! Kamu nggak cocok galau karena cowok,” Nin berseru dari kursinya.

“Cepatlah pulang!” seru Lie Lie.

Joa mengangguk, kembali melambaikan tangan lalu bergegas menuju eskalator. Dengan penuh kehati-hatian Joa melangkah ke tangga eskalator, tangannya berpegangan erat pada gagang pembatas. Gadis itu menggigit-gigit bilah bibirnya yang dipulas lipstik peach.

“Apa lebih baik aku melajang seumur hidup saja?” batinnya dalam hati.

 

2 Comments

Tinggalkan komentar