(Novel) Un-Resolved Love Chapter 1

“Biar kutebak, kamu Rai ‘kan? Ya, Raina Gempita Utoro anak kelas 3 IPA 5.”

Rai mengangguk menanggapi keantusiasan salah seorang temannya yang sudah menjadi seorang ibu muda. Mereka berpelukan hangat cukup lama. Semua teman semasa SMA nyaris bisa Rai kenali dengan mudah kecuali beberapa orang yang memang tidak pernah menjadi teman sekelasnya.

“Rai!” seseorang berseru keras dari samping kanan, dari jejeran meja tempat menyajikan puluhan snack manis khas Yogyakarta yang menggugah selera.

Rai memutar tubuh. Matanya menyipit melihat seorang perempuan berkulit taned berjalan ke arahnya. Perempuan itu memakai gaun mini berwarna kuning yang kontras dengan kulitnya.

“Amora?” tebaknya takut-takut.

“Iya, ini aku Amora!!” seru perempuan itu bahagia dan langsung memeluk Rai yang mematung beberapa waktu.

“Ya ampun Amora, kamu eksotis sekali sekarang. Dengar-dengar kamu tinggal di Hawai ya? Kapan balik ke Indonesia? Sudah lama kita tidak bertemu.”

Teman-teman perempuan lain mulai mengerubungi Rai dan Amora. Mereka tidak tertarik pada Rai. Sebaliknya, mereka fokus pada Amora yang nyata menjadi bintang pada reuni sore itu.

Amora tidak menggubris mereka. Dia menarik tangan Rai, menggenggamnya erat-erat. Sorot matanya menyirat rindu ketika memandang Rai. “Bagaimana kabarmu teman sebangkuku?”

“Aku baik,” jawab Rai seperlunya.

“Masih pendiam dan dingin?”

Rai mengangguk, sedetik kemudian mereka tertawa bersama. Rai menemukan esensi dari sebuah acara reuni ketika Amora kembali merengkuhnya dalam dekapan hangat. Reuni dibuat untuk menghadirkan kembali bahagia yang pernah dirasakan oleh sepasang teman yang cukup lama terpisah.

“Susah sekali mencarimu Rai. Kamu tinggal di sudut dunia mana sebenarnya?”

“Aku tinggal di Jakarta dan masih tinggal di sana sampai sekarang.”

“Bagaimana rasanya tinggal di Jakarta?” tanya Amora antusias, matanya berkilat-kilat penuh rasa ingin tahu.

“Aku merasa nyaman-nyaman saja, asal tidak terjebak macet.”

Amora dan Rai melirik sekeliling. Euphoria yang keduanya rasakan tanpa mereka sadari telah membuat berpasang-pasang mata menatap tidak suka. Keduanya sontak menggigit bibir.

“Aku keliling dulu ya, sore ini aku bintangnya,” bisik Amora.

“Sana buruan, jangan buat posisiku tersudutkan di sini. Mereka terlihat tidak suka melihatmu nempel terus padaku,” balas Rai. Semasa SMA Rai adalah gadis yang pendiam dan dingin. Tapi dia akan jadi orang yang sangat ekspresif jika berada di dekat Amora.

“Aku merindukanmu Rai,Amora memeluk tubuh Rai sekali lagi. “Jangan pulang mendahuluiku. Aku ingin berbagi banyak cerita.”

“Iya, sudah sana… Semua orang sudah menunggumu…..” Rai mendorong tubuh ramping Amora dengan semena-mena. Perempuan berkulit eksotis itu langsung diseret oleh teman-teman perempuan lain yang sudah menanti cerita super spektakuler dari seorang gadis tomboi yang bertransformasi menjadi seorang perempuan sukses nun seksi .

Dari kejauhan Rai tersenyum geli melihat ekspresi wajah Amora di tengah kerumunan teman-teman perempuan mereka. Dia merasa tidak asing dengan pemandangan seperti itu. Bukan cuma di acara reuni dia menemukan banyak orang mengerumuni seseorang yang sudah sukses.

Pandangan Rai kembali mengedar, mengabsen setiap wajah yang jelas menua. Dia diam-diam tersenyum, kelompok-kelompok yang akan ditemukan di sekolah kembali hadir. Kelompok anak-anak populer yang selalu menarik perhatian kemanapun mereka berjalan, mereka si pencari masalah yang lebih baik dihindari, kelompok anak-anak olimpiade yang selalu diidolakan guru dan anak-anak tidak menarik perhatian yang akan dilupakan.

Rai merasa dirinya masuk dalam kelompok anak yang tidak menarik perhatian. Rai masih ingat kehidupan macam apa yang dia lalui semasa SMA. Berangkat sekolah tepat waktu, mengerjakan tugas dari guru, mengikuti pelajaran tanpa pernah membolos dan menyingkir dari keramaian karena merasa terganggu. Tidak ada orang yang benar-benar mengenalnya kecuali Amora dan pria itu.

Kaki Rai tersaruk ke belakang, matanya bergetar. Pria itu, orang yang dia pikirkan berdiri di sudut yang pandangannya jangkau. Detak jantungnya melambat ketika pria itu menyadari kehadirannya dan balas memandangnya. Rai buru-buru memalingkan wajah dari pria yang tidak menua -dia masih punya wajah yang terlalu manis dan kekanakan untuk ukuran seorang pria berusia 27 tahun.

Rai memutar tubuh dengan cepat. Masih ada waktu untuk melarikan diri. Bukan hanya dari pria yang sukses membangkitkan kenangannya tapi juga dari reuni yang tiba-tiba terasa dingin. Rai melangkah meninggalkan aula pertemuan SMA Melati Bangsa. Suara stiletto-nya yang tertantuk permukaan lantai terdengar begitu nyaring. Tapi tidak ada cara lain, dia harus pergi dari ruangan itu sekarang juga.

***

“Sudah kutebak, pasti kamu di sini. Kenapa kabur dari aula? Ada sesuatu yang mengganggumu?”

Suara bernada riang mengusik Rai. Dia mengangkat wajah yang semula tertunduk menghadap novel terjemahan di tangannya. Pria itu berdiri di belakangnya, hanya beberapa meter dari tempatnya duduk.

“Tidak menyapaku?” tanya pria itu. Senyumannya serupa dengan garis matanya.

Joshua Agrariya Pradi, dia pria yang berhari-hari memenuhi otak Rai. Orang yang Rai pikirkan sepanjang hari dan terus dia bayangkan selama berada di dalam gerbong kereta api. Pria itu kembali hadir di jarak pandangnya. Berdiri membingkai senyum dan menatapnya dengan cara yang sama seperti saat mereka masih bersama. Josh menghampiri Rai yang tidak lagi terpaku pada novel roman Give Me Tonight karya Lisa Kleypas. Perempuan itu lebih sibuk mengatur detak jantung dan nafas yang memburu ketika aroma pinus bercampur mint semakin intens menyerang hidungnya.

“Kamu tidak berubah, tetap Rai yang dingin,” Josh terkekeh di sebelah Rai.

“Dari dulu aku memang seperti itu.”

Tawa Josh berderai panjang. Sesuatu yang dulu begitu akrab kembali menyapa Rai. Benaknya melayang-layang ke masa lalu, mengingat momen yang terjadi pada waktu dan suasana sama seperti sekarang.

“Bagaimana kabarmu Rai?” tanya Josh, dia membingkai seulas senyum yang sangat manis.

“Aku baik. Bagaimana denganmu?”

“Sangat baik.”

“Syukurlah kalau begitu,” balas Rai dengan kepala yang tertunduk.

Sebuah ide muncul. Josh ingin Rai beralih fokus padanya karena sejak tadi perempuan itu hanya menunduk, menunduk dan menunduk. Dengan cepat Josh merebut novel dari tangan Rai dan menyembunyikan di balik jas.

“Ah, benar-benar seperti anak kecil,” desah Rai penuh kesal.

“Aku ingin mengobrol denganmu,” tekan Josh.

“Aku tidak mau!”

“Kenapa?”

Rai terdiam. Tatapan mata Josh menghakiminya. “Pokoknya aku tidak mau ngobrol denganmu,” dia menekan setiap kata yang keluar dari mulutnya.

“Menyebalkan,” Josh mendesah. Dia mengambil novel Rai dari balik jas dan mengembalikannya. “Ini novelmu, maaf sudah membuatmu kesal.”

Rai menarik novelnya dengan senang hati. Dia sejenak memandang Josh yang membingkai senyum lembut. “Josh, aku mendengar dari obrolan seorang teman di dalam kalau kamu memilih menjadi pelatih taekwondo. Sejak kapan?”

“Sudah cukup lama. Aku sampai lupa kapan tepatnya,” Josh terkekeh kekanakan.

Rai mendengus. Pria itu tidak berubah. Dia tetap Josh yang tidak pernah menanggapi keseriusannya dengan keseriusan yang sama. Tiba-tiba Rai merasa kesal. Dia menarik tas bahunya dan bersiap pergi tapi tangannya ditahan. Josh mencengkeram pergelangan tangannya cukup kuat.

“Jangan pergi, aku merindukanmu.”

Rai mencelus. Dia memandang jauh ke dalam mata Josh. Mereka sama-sama berenang ke dalam kolam kenangan tempat kisah-kisah mereka tersimpan aman. Rai merasakan gejolak itu lagi. Tidak, dia mengingatkan diri untuk tidak terbuai. Dia tidak mau mengulangnya bersama Josh.

“Maaf Josh, aku harus pergi,” pamitnya, itu adalah usahanya untuk menghindari Josh dan juga menghindari nostalgia yang gencar menyerangnya.

“Cincin itu, kamu masih menyimpannya Rai?”

Rai belum sempat melangkah tapi kini tubuhnya membatu. Josh berjalan menghampirinya dan berhenti selangkah di depannya. Tangan Josh terulur, memperlihatkan cincin perak dengan ukiran bunga tulip yang melingkari jari kelingking kirinya.

“Aku tidak pernah melepasnya,” kata Josh.

Rai hanya diam. Dia menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan-lahan. Dia membangun ekspresi wajah acuh.

“Aku tidak ingat dimana menyimpan cincin itu. Mungkin sudah hilang. Toh, tidak terlalu berharga untukku,” katanya ketus. Dengan jelas Rai melihat kekecewaan pada raut wajah Josh. Itulah yang dia inginkan. Dia tidak mau melanjutkan basa-basi tentang masa lalu bersama pria dihadapannya. “Aku harus pergi sekarang, Amora menungguku.”

“Oh,” balas Josh lesu. “Oh oke… Salam untuknya, lama tidak bertemu dengan teman sebangkumu yang cerewet itu,” lanjutnya dengan tawa yang jelas dibuat-buat.

“Akan kusampaikan salammu pada Amora,” Rai melintas di samping Josh yang hanya diam memandanginya. Dia berjalan anggun meninggalkan pria itu sendirian di sudut halaman belakang sekolah yang asri.

Perhatian Josh belum lepas dari sosok Rai. Matanya menatap lekat punggung perempuan itu, membayangkan Rai dalam balutan seragam sekolah dan menggendong tas ransel berat penuh buku pelajaran serta beberapa novel saduran. Josh tersenyum untuk dirinya sendiri. Ibu jarinya mengelus cincin yang melingkari kelingkingnya.

“Kapan kamu akan menghargai kehadiranku, Rai?”

Tinggalkan komentar