(Novel) Un-Resolved Love Chapter 2

“Rai, buku baru ya?”

Josh tiba-tiba saja sudah duduk di samping Rai. Dia curi-curi membaca novel berbahasa inggris yang gadis itu baca. Josh sudah biasa dengan situasi semacam itu, Rai asik membaca disampingnya sedang dia curi-curi baca sambil menunggu waktu yang tepat untuk mengganggu gadis itu.

“Pulang sekolah nanti mampir beli burger yuk? Ada penjual burger baru, kata anak-anak rasanya enak. Aku yang traktir.”

“Aku mau langsung pulang. Ada-”

“Buku baru yang harus kamu baca,” Josh mendesah panjang. Kesabarannya sudah habis. Dia menarik novel Rai, menutupnya dan memeluknya erat di depan dada.

“Balikin Josh! Nyebelin banget sih!”

Josh cengengesan melihat wajah kesal Rai. Gadis itu… Sekarang dia terlihat lebih manusiawi. Tidak seperti gunung es super dingin yang mengerikan.

“Ikut denganku makan burger lalu kukembalikan bukumu?” alis tebal Josh bergerak naik-turun.

“Kamu sedang main-main denganku?” .

Josh mekendikkan bahunya yang bidang. “Bagaimana? Penawaran yang bagus ‘kan?”

Gadis itu menghembuskan nafas panjang. Bahunya yang tegang perlahan kendur. Dia menatap Josh dengan malas tapi akhirya dia mengangguk meski tidak begitu kentara.

“Nah, begitu dong! Senang berbisnis denganmu Rai,” kekeh Josh.

Rai hanya diam. Dia menarik novelnya dengan kasar dari tangan Josh dan buru-buru membuka halaman lanjutan novel Gap Creek yang diam-diam dia pinjam dari sepupunya. Saat itu juga Rai kembali hanyut dalam cerita apik yang dihantar oleh kalimat-kalimat indah Robert Morgan -tentang kehidupan pernikahan seorang gadis belasan tahun pada masa lampau di Amerika.

“Rai.”

“Hmmm.”

“Hadap sini coba.”

“Aku sedang sibuk.”

“Sebentar saja.”

Rai semakin kesal. Dia berniat menyembur Josh, bila perlu mengusir anak lelaki jangkung itu jauh-jauh dari taman belakang sekolah. Rai menggeram. Dia sudah siap memasang wajah marah dengan alis yang saling tertaut tapi pada akhirnya Rai hanya membatu. Matanya membulat kaget sedang bibirnya membisu.

“Bagus tidak?” garis mata Josh semanis senyumannya.

Kalung berbandul cincin perak menjuntai turun dari tangan Josh. Dia menggoyang-goyangkan kalung itu dengan wajah berseri. Rai terpana, dia hanya diam ketika Josh memasangkan kalung itu -seharusnya dia menolak tapi bibirnya membisu. Ada perasaan, Rai tidak tahu jelasnya, seperti bahagia, senang yang berlebihan.

“Jangan fokus pada kalungnya tapi fokuslah pada cincin yang jadi bandul kalung ini,” kata Josh.

Rai memegang cincin perak yang Josh maksud. Dia memperhatikan cincin itu. “Memangnya kenapa?”

“Ini bukan cincin sembarangan, cincin ini punya arti.”

“Arti?” kening Rai berkerut.

Josh meraih cincin itu. Dia memutar-mutarnya sampai menemukan bagian yang dia maksud. Cincin itu memiliki ukiran cantik berbentuk bunga. Bunga tulip.

“Ada ukiran bunga tulip di sini,” kata Josh. Rai memperhatikan betul-betul penjelasannya. “Artinya cinta yang sempurna. Kamu ingat ini tanggal berapa?”

“Tanggal 14 Februari, kenapa?” tanya Rai acuh.

“Jika seseorang memberikan bunga tulip pada Hari Valentine artinya orang itu menginginkamu menjadi pendamping hidupnya, selamanya.”

Rai berjengit. “Aku tidak merayakan Valentine.”

“Kamu merayakannya, hari ini denganku!”  

“Tidak ada cokelat,”

Josh menggeram. Momen-momen romantis yang susah payah dia bangun hancur berantakan. Dia mengeluarkan cincin serupa dari dalam saku celana. Tanpa banyak bicara dia melingkarkan cincin itu di kelingkingnya sendiri.

“Aku memakai cincin yang sama denganmu. Artinya kita terikat,” katanya sambil memperlihatkan cincin perak yang pas terpasang di jari kelingking kiri.

“Cincin itu aneh di jarimu,” cibir Rai.

Josh menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan-lahan. “Jangan lepas kalung dan cincin itu. Aku bisa marah besar padamu,” ancam Josh.

“Aku tidak suka berjanji.”

“Rai!!!”

“Iya-iya! Iya, tidak akan kulepas,” Rai menutup bukunya keras-keras. Dia berdiri dengan cepat kemudian menatap Josh cukup tajam. “Jangan lupa cokelat untukku,” katanya kemudian berlalu.

Tawa Josh meledak. Tetap saja dia Rai, gadis dingin, mengesalkan tetapi manis. Entah bagaimana bisa dia jatuh cinta pada gadis yang lebih memilih membaca buku dari pada mengobrol dengannya, padahal di luar sana ada banyak sekali anak perempuan yang berebut ingin mendapat seulas senyum darinya. Tidak ada alasan untuk mencintai seseorang. Hatinya sudah tertaut pada Rai. Meski gadis itu selalu diam dan sibuk dengan dunianya, tapi Josh yakin Rai juga menyukainya. Memang tidak sebesar rasa yang Josh punya, tapi dia akan membuat Rai benar-benar menyukainya.

Josh memandangi cincin perak berukir bunga tulip yang belum berhenti dia kagumi. Dengan cincin itu, Rai tidak akan bisa pergi darinya. Josh sudah mengikat Rai. Mereka akan tumbuh bersama kemudian membangun rumah tangga dan bahagia selamanya.

***

“Wow, kamu ketemu Josh! Bagaimana dia sekarang? Ada yang berubah atau dia masih tetap sama? Wah, aku jadi ingat Josh dan pesonanya yang luar biasa itu.”

Rai hanya tersenyum menanggapi Amora. Suasana hatinya masih berantakan. Semalaman dia tidak bisa tidur karena masih memikirkan pertemuannya dengan Josh. Terutama pada bagian saat pria itu mengaku rindu padanya.

“Dia tidak berubah, tidak menua… Hmm, pokoknya masih seperti Josh yang dulu,” jelas Rai. Dia mengaduk-ngaduk cappuccino dalam cangkir.

“Dia bicara apa saja padamu?”

“Tidak banyak, hanya menanyakan kabar lalu aku pergi karena ada telepon penting,” jawab Rai bohong.

Dia tidak mau Amora mendengar cerita yang sebenarnya. Rai masih mengenal Amora dengan baik. Dia hafal jika temannya itu masihlah Amora yang impulsif dan agresif. Tidak menutup kemungkinan Amora akan menyeretnya ke hadapan Josh jika dia menceritakan detail hal yang terjadi pada pertemuannya kemarin dengan pria itu.

“Sayang sekali, padahal aku berharap kalian kembali,” Amora saling melilitkan kedua jari kelingkingnya. “Bersama-sama lagi maksudku.”

Rai tertawa pelan menanggapi kekonyolan Amora. Dia meminum cappuccino-nya yang sudah dingin. “Kami tidak pernah pacaran. Ingat!”

“Cuma orang bodoh yang percaya padamu Raina sayang….” Amora mencondongkan tubuhnya ke depan. Rai mendorong tubuh Amora, potongan kerah baju perempuan itu terlalu rendah dan membuat bagian dadanya terekspos. “Sudah deh, jangan berkelit. Aku tahu kamu juga menyukai Josh. Kalian selalu menghabiskan waktu bersama, Josh selalu bicara dalam nada manis padamu dan dia sangat perhatian padamu. Ditambah kalian punya cincin pasangan. Jelas-jelas kalian pacaran!”

“Tidak, kami tidak pernah pacaran,” tekan Rai sekali lagi.

“Aduh, kamu tetap tidak berubah,” keluh Amora.

Rai tertawa melihat wajah lemas Amora. Dia meminum cappuccino yang tersisa di cangkir kemudian berdiri dari single sofa warna krem. “Aku ke toilet dulu.”

“Sana pergilah…”

Rai berjalan ke arah dalam kafe. Kakinya menyusuri lantai kayu berplitur cokelat yang tidak dihinggapi debu. Harum lilin aroma terapi menyapanya ketika masuk ke dalam toilet wanita. Dia berjalan menuju cermin panjang yang dipasang permanen pada tembok. Rai memperhatikan wajahnya beberapa waktu. Pikirannya melayang ke masa remajanya, ketika dia masihlah seorang siswi SMA biasa-biasa saja.

Josh.

Nama pria itu tiba-tiba muncul dalam otaknya. Sedetik kemudian wajah pria itu lengkap dengan sosoknya dalam balutan seragam sekolah bergerak tanpa jeda. Tidak lama suara pria itu yang nyaring berdengung di telinganya. Kemudian kenangan-kenangannya bersama Josh muncul, berjalan tanpa bisa dihentikan.

Tinggalkan komentar