Under The Umbrella Chapter 1

 

‘Kau’ adalah ingatan yang tidak ingin kulepas.

***

Mike mendorongku agar segera duduk. Bus yang kami tumpangi untuk menuju Phuket akan segera berangkat. Lima menit lebih awal dari waktu yang ditentukan.

Kusimpan tas ranselku di bawah kursi bus. Sengaja melakukannya karena aku membawa laptop dan kamera yang berharga. Jika terjadi sesuatu pada kedua benda itu maka uang, waktu dan perjalanan yang kutempuh jauh-jauh ke Khao-Lak akan berakhir sia-sia.

Mike mulai sibuk lagi dengan ponselnya. Pria muda berwajah kekanakan itu rekan kerja baruku. Aku merekrutnya, setelah melihat foto-foto hasil jepretannya yang dilampirkan pada portofolio yang dia sertakan ketika mengikuti job fair beberapa bulan lalu.

Mesin bus menyala. Perlahan bus melaju. Meninggalkan terminal Distrik Khao-Lak yang sore itu tidak terlalu ramai.

Aku tiba di distrik ini tiga hari yang lalu setelah lebih dulu mengunjungi Bangkok kemudian terbang ke Phuket lantas menempuh perjalan darat selama dua jam menuju provinsi Phang-Nga. Aku seorang content-writer yang fokus pada seluk beluk pariwisata dan traveling. Pekerjaan ini sudah kugeluti selama hampir delapan tahun. Dulu aku bekerja untuk sebuah majalah life style kemudian berhenti dan sekarang bertanggungjawab mengelola website Tour and Travel berskala internasional yang bermarkas di Yogyakarta.

Mike menyenggol lenganku. Dia mengelungkan sebotol air mineral dan obat penurun demam. Dia mengedikkan dagu, menyuruhku segera mengambil botol air dan obat dari tangannya karena dia harus meneruskan obrolan dengan seseorang via telepon.

Aku tersenyum kecut seraya menarik botol air dan obat darinya. Mike sedang dimabuk cinta. Belum genap dua bulan sejak dia berhasil memacari perempuan yang dia incar sejak tahun kedua di perguruan tinggi. Tentu saja aku berbahagia untuknya. Tapi… Tck, terkadang aku kesal jika sikapnya mulai berlebihan. Seperti yang selama ini selalu dia lakukan. Telepon selama berjam-jama, saling puji menggunakan bahasa mengerikan, dan kelakukan-kelakuan aneh lain yang hanya akan dimengerti oleh orang yang merasakan hal serupa dengannya.

Kuminum obatku secepat kilat. Kutempelkan punggung tanganku ke dahi. Suhu badanku terasa sama seperti pagi tadi ketika aku mulai merasa ada masalah dengan tubuhku.

“Mike.. Boleh aku meminjam bantal lehermu?” tanyaku.

Tubuhku memunggunginya. Aku asik menikmati pemandangan pepohonan yang berjajar dengan jarak teratur ketika bus melaju meninggalkan Distrik Khao-Lak.

“Tidak boleh,” jawabnya cepat. Dia miring ke arahku. “Tata akan marah besar jika dia mencium ada aroma parfum orang lain di bantal ini.”

Aku sontak berdecak. Dunia ini memang gila. Bagaimana bisa Mike mendapatkan pasangan yang tak lain adalah cerminan dirinya sendiri? Bukankah idealnya pasangan adalah mereka yang berlawanan namun dapat saling melengkapi?

Kelopak mataku perlahan-lahan tertutup. Kurasakan laju bus memelan. Bus sampai di jalan yang diapit tebing di sebelah kiri dan lautan lepas di sebelah kanan.

Aku mengenal medan ini, atau setidaknya masih mengingatnya. Empat tahun yang lalu aku pernah datang ke tempat ini. Ketika masih bekerja untuk majalah life style. Ada seseorang yang menyarankanku pergi ke tempat ini. Dia berani menjamin kalau aku tidak akan menyesal telah datang ke sini. Dan dia benar. Meski tidak seramai Pattaya, tidak seeksotis Maladewa, tapi tempat ini menyajikan nuansa lain yang memikat. Biru air laut yang permukaannya berkilau dipapar matahari dipadu dengan angin sepoi, riak suara air berbuih yang terserap pasir, kicau buru-burung liar ketika matahari mulai terbit, suasana damai jauh dari hiruk-pikuk perkotaan dan keramahan warga lokal yang memikat… Aku harus membuat tulisan yang bagus. Agar orang-orang tertarik datang ke tempat ini dan merasakan apa yang kurasakan. Rasa tenang yang halus, dan menyenangkan.

Birunya lautan menyambutku ketika mataku kembali terbuka. Jariku tanpa sadar bergerak ke permukaan kaca bus. Dengan sendirinya mulai bergerak menuliskan nama seseorang.

Kuharap dia masih mengingatnya.

Tentang janji yang kami berdua buat untuk kembali ke tempat ini empat tahun lalu.

Mataku memandang lurus ke tengah lautan. Menikmati permukaan air yang bergerak-gerak pelan diterpa angin. Kedua sudut bibirku tertarik ke atas. Senyum simpul tersungging di bibir tipisku.

Bukankah sebuah janji tetaplah janji?

Meski keadaan telah berubah, meski kami tak lagi sejalan dan akhirnya berpisah. Aku berharap dia masih mengingat janji yang kami buat. Dan aku sangat berharap dia melakukan apa yang sudah kulakukan. Menepati janji untuk kembali ke tempat ini, meski datang secara terpisah -karena mustahil untuk datang bersama.

Reaksi obat penurun demam yang kuminum mulai terasa. Mataku semakin berat. Suara-suara di sekelilingku mulai terdengar samar -termasuk suara Mike. Sebelum mataku tertutup dan kesadaranku hilang, aku kembali melihat ke tengah lautan sambil tersenyum manis.

Pada waktu yang berbeda, semoga dia juga menatap ke tengah lautan, tersenyum sambil mengenang semua yang pernah kami lalui bersama. Seperti yang kulakukan.

***

Aku dan Mike berpisah sekeluarnya dari terminal kedatangan internasional 2D Bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Seorang kerabat Mike sudah datang menjemputnya, dan seseorang juga sudah datang menjemputku.

Seorang perempuan berperawakan mungil berdiri dengan tangan terentang lebar di depan pintu terminal kedatangan internasional 2D. Dia tersenyum manis. Sebuah senyum penyambutan yang membuatku bahagia. Aku segera berlari-lari kecil menghampiri perempuan itu. Tubuhku langsung masuk ke dalam pelukannya yang hangat. Aku tersenyum menyadari dia masih menggunakan parfum yang sama. Aromanya kukenal betul, perpaduan aroma stroberi yang segar dan mawar yang halus, eksentrik namun memabukkan.

“Lihatlah, kulitmu terbakar,” cibirnya.

Aku tertawa. Kupererat pelukanku.

“Wah… Kamu pasti sangat rindu padaku,” ujarnya bahagia.

Aku mengangguk antusias dalam pelukannya. Perempuan mungil berambut pendek sebahu ini adalah Ria, sahabatku sejak duduk di bangku SMP. Dia pindah ke Jakarta tiga tahun lalu. Mengikuti suaminya yang seorang konsultan di sebuah perusahaan saham.

“Kamu membelikan souvenir pesananku?” tanyanya.

“Tentu saja,” jawabku kemudian menepuk-nepuk badan tas ransel yang kugendong.

Aku menarik diri dari pelukannya. Kami mulai berjalan meninggalkan pelataran terminal kedatangan internasional 2D menuju mobilnya yang terparkir di tempat parkir tidak jauh.

“Adia…” Ria memanggilku.

“Apa?”

“Apa di sana semuanya berjalan lancar?”

Aku mengangguk. Kondisi kesehatanku yang menurun bukan parameter lancar tidaknya pekerjaanku selama di Khao-Lak.

“Tulisanku kali ini akan sangat bagus.”

Ria terkekeh. “Memangnya pernah tulisanmu tidak bagus?”

Bahuku bergerak naik lalu turun. “Menurutmu?”

Ria menggeleng-gelengkan kepala. Dia tiba-tiba menggamit lenganku penuh antusias.

“Besok malam akan ada acara makan malam bersama teman sekantor Johan di rumah. Aku dan Johan berniat mengenalkanmu pada seseorang,” ujar Ria.

Kujitak puncak kepalanya dengan mudah -aku lebih tinggi sepuluh sentimeter darinya.

“Apa aku terlihat tidah becus mencari pasangan?”

Ria mengangguk mantap. “Dan kuharap kamu ingat berapa usiamu sekarang,” desisnya tajam.

“Ria, aku belum setua itu…”

“Kamu sudah dua puluh delapan tahun… Tujuh bulan lagi sudah dua puluh sembilan tahun…” Ria menarik tangannya yang menggamit lenganku. “Dia, percayalah padaku. Kali ini kamu akan bertemu dengan pria yang akan membuatmu jatuh cinta,” Ria tiba-tiba mendelik. Bola matanya berputar karena gusar. “Lagi…”

Aku hanya dapat tersenyum menanggapi kalimatnya. Dan sisa langkah kami menuju mobil dihias diam.

Dulu sekali, jatuh cinta adalah kalimat yang kusukai, karena menggairahkan, membuatku bahagia hingga berubah menyerupai orang gila. Namun sekarang… Jatuh cinta tak ubahnya hanya sebuah kalimat asing, yang tidak lagi kusukai.

Tinggalkan komentar