Under The Umbrella Chapter 2

Kujatuhkan pilihan pada gaun terusa biru tua yang sedikit memamerkan bahuku. Siang tadi aku menghabiskan hampir satu jam berdiri di depan lemari pakaian Ria. Kebanyakan gaun miliknya akan terlalu mini jika kupakai. Mengingat perbedaan tinggi kami yang lumayan signifikan.

Aku duduk di depan cermin. Ria sempurna mematutku. Kulit bagian wajah, leher dan sebagian lenganku yang terbakar berhasil dia samarkan. Aku kembali menjelma menjadi Adia sebelum pergi ke Khao-Lak bahkan lebih sempurna dari seorang Adia yang orang-orang kenal.

Aku tersenyum memerhatikan refleksi diriku dalam cermin. Aku sempat membenci diriku sendiri yang berbeda. Wajahku, postur tubuhku, warna rambutku berbeda dari orang Indonesia pada umunya. Aku lahir dari seorang ibu berdarah Indonesia dan ayah berdarah campuran Indonesia-Jerman. Nenekku yang bermata biru cantik menikah dengan kakekku yang orang Indonesia pada tahun 1960, mereka bertemu di Berlin ketika Kakek melanjutkan pendidikan di sana.

Wajah indo yang kental dan rambutku yang cokelat kepirangan membuat banyak orang sering diam-diam memperbincangkanku. Beberapa menyukai fisikku yang berbeda tapi ada lebih banyak orang yang tidak menyukaiku. Semasa sekolah aku bahkan harus selalu mengecat hitam rambutku setiap dua bulan sekali, aku selalu memakai jaket dan juga kaus kaki panjang -karena bulu yang tumbuh pada sekujur tubuhku juga berwarna pirang. Beruntung aku tidak menuruni mata Nenek yang berwarna biru cantik. Bisa jadi orang-orang akan mengejekku, mengataiku alien dan sepanjang masa sekolah, aku harus memakai kaca mata hitam -karena pada waktu itu belum ada kontak lensa berwarna seperti yang ada sekarang. Hingga pada satu waktu, ada yang menyadarkanku bahwa menjadi berbeda bukan kesalahan.

Sejak saat itu rasa percaya diriku muncul. Aku tidak malu lagi berdiri di depan orang-orang meski memiliki perbedaan fisik yang mencolok dan aku mulai menanggalkan atribut-atribut yang selalu menempel padaku: jaket dan kaus kaki panjang -aku masih tetap mengecat hitam rambutku setiap dua bulan sekali karena peraturan sekolah yang mengharuskan rambut siswanya berwarna hitam.

Kubuka kotak perhiasan, kuambil kalung berbandul batu biru tua yang dibingkai pelat perak melingkar. Aku membeli kalung itu dua tahun lalu. Ketika mengunjungi India untuk urusan pekerjan -seperti biasa. Kulingkarkan kalung ke leherku. Kemudian kuambil hair pin bunga anggrek dari kotak perhiasan yang sama. Kuambil sedikit rambut panjangku yang tergerai. Menyematnya ke belakang telinga menggunakan hair pin.

Pintu kamar diketuk. Ria muncul, melongokkan kepala dari balik pintu.

“Ayo keluar. Teman-teman Johan sudah datang.”

“Tunggu sebentar.”

Kubenahi dandananku. Kutimpa wajahku dengan bedak tipis-tipis sekali lagi. Kemudian kubersihkan kedua sudut bibirku menggunakan tisu, takut jika ada lipstik yang tertinggal.

“Cepatlah…” seru Ria. Kakinya mengetuk-ngetuk permukaan lantai. Sebagai penegasan kalau dia kesal menunggu.

“Sabarlah Ria.”

Rok gaun yang kupakai jatuh dengan begitu anggun ketika aku berdiri. Seperti ombak yang menggulung pelan ke daratan ketika kaki jenjangku mulai melangkah. Ria yang menunggu di ambang pintu mengulurkan tangan. Kuraih tangannya, kemudian kugamit lengannya.

Kami berjalan beriringan meninggalkan kamar tamu yang kutempati. Ria tiba-tiba mengerucutkan bibir ketika mendongak menatapku. Perbedaan tinggi diantara kami makin terlihat mencolok karena aku memakai sepatu hak tinggi sedang dia tidak. Sejak dua bulan lalu Ria berhenti memakai sepatu hak tinggi karena kehamilannya. Dia rela melakukan segala upaya agar janin di dalam kandungannya baik-baik saja.

Aku mulai mendengar suara Johan dan teman-temannya ketika hampir mencapai anak tangga. Topik pembicaraan mereka tidak lepas dari urusan pekerjaan

Kupegangi tubuh Ria posesif. Tangan kiriku menyusup di balik lengannya, melingkari pinggangnya yang mulai bertambah ukuran sedang tangan kananku memegang bilah pegangan tangga. Kami menuruni anak tangga satu demi satu. Mencoba menghindari hal buruk.

Aku dan Ria sampai di pertengahan tangga. Dari sini aku dapat melihat secara jelas keadaan di ruang tamu. Beberapa pria berpakaian formal berdiri berpasangan di sudut-sudut ruang tamu.

Johan menyadari kehadiranku dan Ria. Dia memandang kami, lalu tersenyum -seulas senyum penuh cinta yang dia tujukan pada Ria. Dua detik kemudian Johan kembali hanyut dalam percakapannya bersama seorang pria di hadapannya.

Kuperhatikan pria lawan bicara Johan. Pria itu berperwakan tinggi tegap, memakai kemeja hitam tersetrika licin yang berpadu dengan celana bahan abu-abu. Rambutnya berwarna hitam gelap, bersinar ditempa cahaya lampu ruangan yang terang. Sosok pria itu terlihat semakin jelas ketika anak tangga terakhir berhasil kulewati. Pria itu memiliki garis rahang yang tegas ketika dilihat dari samping, dia punya tulang pipi yang bagus dan alis tebal berwarna hitam sempurna.

Pria itu tiba-tiba menoleh ke arahku dan Ria. Dia berwajah percampuran Indonesia-Eropa, yang sempurna.

Pria itu menatapku. Ada getaran yang dia hantar dalam tatapannya. Sesuatu seperti rasa gembira dan akrab.

“Hai Adia.”

Pria itu menyapaku. Senyum lebar tersungging di bibirnya yang ranum kemerahan.

Aku tercenung melihatnya tersenyum. Seketika sebuah ingatan menyambarku. Menarik mundur memoriku jauh ke belakang.

***

“Belum selesai juga kau menangis?”

Aku mendengarnya terkikik. Dia datang entah dari mana. Tiba-tiba sudah berdiri di belakangku yang meringkuk di dekat bak pembakaran di halaman belakang sekolah. Kurasakan sebuah kain jatuh menimpai tubuhku. Ternyata jaketku yang tertinggal di kelas.

Sambil sesenggukan kutarik jaketku ke dalam pelukan. Kusembunyikan wajahku yang merah padam dihias gulir air mata -yang sebagian sudah mengering- ke dalam jaketku.

“Apa kau pikir menangis bisa menyelesaikan masalah?”

Dia belum pergi juga. Kurasakan dia duduk berjongkok menyebelahiku. Tangannya asik mencabuti rumput yang tumbuh tidak terawat.

“Kau tidak mendengarku ya?” tanyanya. Untuk ketiga kali.

Menyebalkan. Kenapa dia tidak pergi saja.

Kutarik nafas panjang.

“Aku mendengarmu.” jawabku dan sesenggukan lagi.

Tangisku tak kunjung usai. Masih ada banyak stok air mata yang harus kutumpahkan. Aku sudah menahannya untuk hampir seminggu.

“Apa mereka menyakitimu?” tanyanya. “Ada bagian tubuhmu yang terluka? Berdarah-darah?”

“Tidak.”

“Lalu kenapa kau menangis?”

Dengan sesenggukan kuangkat wajahku. Kulihat dia tersenyum lebar. Memamerkan deret giginya yang putih rapi.

“Pegi saja kalau kau cuma ingin mengejekku saja,” sungutku kesal.

Dia menggelengkan kepala. Tangannya yang putih pucat dia lipat di atas lutus. Lalu kepalanya turun ke tangannya yang terlipat. Dia menatapku dari samping.

“Adia, bukan cuma kau saja yang berbeda di sini. Kau lupa kalau aku juga berbeda?”

Kubalas tatapannya. Dia benar. Bukan hanya aku siswa yang berbeda. Ada dia yang senasib denganku. Berwajah campuran, berpostur tubuh lebih tinggi, bermata cokelat -tapi dia tidak berambut pirang sepertiku, rambutnya hitam legam.

“Tapi kau jauh lebih beruntung dariku,” kataku.

“Beruntung dalam hal?”

Kutuding rambut hitamya yang disisir rapi ke belakang.

Dia tertawa.

“Rambutmu juga hitam.”

“Karena aku mengecatnya.”

Tawanya berhenti. Dia berubah serius. Iris matanya mengeras.

“Aku tanya padamu Dia, apa menjadi berbeda adalah kesalahan?”

Pertanyaannya menusukku. Aku kegalagapan. Otakku bekerja lambat mencari jawaban untuk pertanyaannya.

Buru-buru kupalingkan wajahku untuk menghindari tatapannya yang mengintimidasi. Dan dia tertawa lagi.

“Tidak akan ada orang yang menyukaimu selama kau masih membenci diri sendiri.”

Kurasakan tangannya mendarat lembut di bahuku, meremasnya ringan. Dia menarik bahuku. Memaksaku kembali menghadap ke arahnya.

“Berhentilah menutup diri dan menyembunyikan apa yang kau miliki. Tidak ada yang salah denga fisikmu. Yang salah adalah ini..” telunjuknya menyuduk pelipisku. “Berhenti racuni otakmu dengan rasa takut tidak diterima karena kau berbeda. Aku tidak ingin kau menyesal karena kelak tidak memiliki ingatan manis masa SMA.”

Ibu jarinya bergerak lembut membersihkan sisa air mata yang menggenang di pelupuk mataku. Aku membatu di tempat, tidak dapat berekasi banyak, hanya bola mataku yang bergerak-gerak mengikuti gerakan ibu jari, mata dan sudut bibirnya yang terangkat naik.

***

“Dean.”

Pria itu mengangguk. Dia melangkah mendekat. Menarikku dari Ria dan langsung membawa tubuhku masuk ke dalam pelukannya.

Hangat tubuh dan aroma Bvlgari Aqua yang maskulin menyelimutiku. Aku diam dalam pelukan erat Dean. Lalu Dean melepas pelukannya. Dia menatapku, matanya yang berwarna cokelat bersinar terang.

Ria tiba-tiba berdeham, dan entah sejak kapan Johan sudah berdiri merangkul istrinya.

“Malam ini sudah seperti acara reuni saja,” kelakar Ria.

“Benar sekali,” imbuh Johan.

Aku masih diam. Perhatianku kembali tertuju pada Dean setelah sempat teralihkan. Dean menggosok lenganku yang dingin kemudian meremasnya lembut.

“Sudah hampir dua belas tahun kita tidak bertemu,” kata Dean. Matanya semakin lekat menatapku. “Bahagia melihatmu tidak berubah.”

Tubuhku masuk ke dalam pelukannya lagi. Tapi aku langsung menarik diri. Kudorong tangan Dean dari tubuhku. Sontak saja Ria, Johan dan juga Dean tertegun melihat sikapku. Mereka menatapku tidak habis pikir, seakan aku telah melakukan hal yang salah. Tapi kemudian aku berjinjit. Melingkarkan tanganku ke leher Dean. Kupeluk erat lehernya.

“Kupikir kita tidak akan bertemu lagi,” bisikku tepat di telinganya.

Dean tertawa.

“Kau membuatku takut. Kupikir kau marah karena tiba-tiba kupeluk,” katanya.

Kutarik tubuhku dari Dean. Kupukul pelan dadanya yang bidang menggunakan kepalan tangan.

“Tentu saja aku marah…”

Ria kembali berdeham. Bertingkah seolah-seolah dia adalah wasit yang berkuasa mengatur segala sesuatu yang terjadi malam ini.

“Apa kalian tidak lapar?” tanyanya, nada suaranya sengaja dinaikkan. Matanya yang bulat cantik dia buka lebar-lebar, memandangku dan Dean bergantian. “Oke kalian tidak lapar, tapi tamu yang lainnya sudah lapar. Segeralah menyusul ke ruang makan jika perut kalian mulai berkokok. Dan ingat, tidak ada makanan tambahan untuk malam in.”

Johan dengan sigap menarik istrinya. Melingkarkan tangannya ke pinggang Ria lalu buru-buru membawanya pergi sebelum ocehannya jadi semakin panjang.

“Dia sedang hamil muda, jadi maklumlah kalau dia sedikit mengesalkan,” kataku.

Dean mengangguk paham. Lalu tangannya masuk ke dalam saku celana.

Aku mendadak tersenyum-senyum.

“Apa ada yang kau pikirkan?” tanyaku.

Kening Dean mengerut. “Apa?”

Kukendikkan daguku ke arah tangannya yang masuk ke dalam saku celana.

Dean sontak tertawa. Dia cepat-cepat mengeluarkan tangannya dari saku celana. Mengangkatnya naik sejajar kepala.

“Aku sedang tidak memikirkan apa-apa.”

“Benarkah?” alis kananku melejit tinggi.

“Iya,” bahunya mengedik. “But yahh.. You still remember it. Very well..”

“Mana mungkin aku melupakannya,” kulingkarkan tanganku ke sikunya. Kami berjalan santai meninggalkan ruang tamu. “Dean, apa aku masih boleh memanggilmu Mr. Bule?”

Dean terkekeh.

“Tentu saja. Toh aku memang bule. Tidak, tidak… semakin menyerupai bule. Kamu tidak melihat bintik-bintik di wajahku? Entah kapan mereka mulai muncul.”

“Aku tidak melihatnya. Tapi terima kasih karena sudah memberitahuku.”

Dean menepuk-nepuk tanganku.

“Dia, kita harus mengobrol semalam suntuk. Aku punya banyak sekali cerita yang ingin kubagi denganmu.”

“Menarik?”

Yeah..” jawabnya sambil mengangguk mantap. “Sangat.”

“Oke, aku setuju. Oh ya Dean, kemarin Ria bilang kalau dia akan mengenalkanku pada seseorang. Apa kau tahu siapa orang itu?”

“Ya, aku tahu.”

“Siapa?” tanyaku sambil menatap Dean penuh harap.

“Orang yang sedang kau gandeng,” jawabnya, lalu telunjuknya menyentil ujung hidungku. “Bagaimana? Apa aku menarik perhatianmu?”

“Tentu saja. Sangat,” jawabku lalu tersenyum jenaka.

Tinggalkan komentar