Under The Umbrella Chapter 3

“Kau batal menikah dengan pria yang sudah kau pacari selama 5 tahun?”

“Begitulah,” tubuhku merosot di atas sofa mewah apartment Dean. “Kami putus empat bulan setelah sepakat untuk menikah.”

Dalam sekejap Dean memutar duduk menghadapku. Meninggalkan pekerjaannya yang lagi-lagi tersendat karenaku.

“Ceritakan padaku, kenapa kalian putus?” pintanya.

Aku menggeleng. Kumasukkan sepotong keripik pisang ke dalam mulut. Mengunyahnya perlahan-lahan, merasakan rasa manis menyebar di dalam rongga mulutku.

“Kenapa juga aku harus menceritakannya padamu?”

Dean berdecak. Kaki panjangnya naik ke atas sofa. Dia silangkan dengan tidak nyaman.

“Jangan coba-coba pelit cerita padaku,” kata Dean lalu berdecak. Tangannya bergerak cepat, menarik stoples keripik pisang dariku. “Aku ingin mendengarnya karena aku perduli padamu,” lanjutnya.

Aku tersenyum miring. Sedikit kutegakkan punggungku yang sempurna miring seratus tiga puluh lima derajat di atas sofa.

“Baikalah, kau ingin mendengarnya dari mana? Waktu semalaman tidak akan cukup untuk menyelesaikan ceritaku,” aku mendelik. “Dan dia.”

“Singkatnya saja. Kenapa kalian bisa pacaran, lalu memutuskan menikah kemudian putus begitu saja,” katanya.

Ada kilat penasaran di dalam mata Dean yang berhasil kutangkap. Dia ternyata masih tipikal orang yang selalu ingin tahu apa yang terjadi dalam hidup orang-orang terdekatnya. Aku sendiri masih masuk dalam hitungan orang terdekatnya. Meski kami sempat hilang kontak selama dua belas tahun karena dia pindah ke Inggris setelah lulus SMA dan tiba-tiba saja menghilang tanpa pernah terendus kabarnya.

“Aku bertemu dengannya saat bekerja di majalah life style. Dia partner kerjaku. Kami memutuskan pacaran begitu saja. Dia memenuhi ekspektasi yang kupatok untuk seorang pria yang ingin kujadikan kekasih. Hubungan kami berjalan lima tahun lalu kami memutuskan menikah dan tidak lama kami putus,” kutegakkan posisi dudukku. “Aku tidak bisa menjelaskan detail alasan kami berdua putus. Intinya karena kami belum berani berkomitmen lebih besar.”

“Kau masih berhubungan dengannya?” tanya Dean. Dia mengelungkan stoples keripik pisang kembali padaku setelah kuminta.

“Kami putus hubungan. Terakhir aku mendengar kabar kalau dia menetap di Budapest selama tiga bulan.”

“Kalau seumpama aku mengenalnya dan aku ingin memberitahumu tentang keadaannya sekarang, apa kau mau mendengarnya?” tanya Dean.

Bahuku mengendik. “Bisa jadi.”

Dean tersenyum-senyum. Dia melirikku geli lalu memalingkan wajah. Tangannya menyambar laptop yang menyala di atas meja.

“Kau belum melupakannya,” katanya sambil mulai mengetik.

Seringai di bibirnya mengaskan kalimat ‘aku masih mengenalmu dengan amat, sangat, sangat baik Adia’. Jari-jari panjang Dean bekerja mengetik dalam kecepatan tinggi. Tidak ada jeda sampai dia menekan tombol enter.

“Bukti kuat lainnya kalau kau belum melupakannya adalah statusmu yang masih single. Kau belum memulai suatu hubungan lagi karena masih terbayang-bayang dia,” katanya kemudian.

Kudorong tubuh Dean menggunakan kaki. Aku beringsut. Bergeser mendekatinya dan kemudian meremas bahunya yang berotot kuat-kuat.

“Apa kau butuh kaca untuk bercermin? Lihatlah dirimu. Sampai sekarang kau juga masih single.”

“Aku tidak ingin terburu-buru. Masih ada banyak sekali hal menyenangkan yang dapat kunikmati sendiri,” Dean merangkulku. Mendorongku tubuhku mendekat padanya. Tubuh kami berbenturan ringan. “Apa kita harus bersenang-senang malam ini?” bisiknya dalam suara yang teramat rendah dan lirih.

Tubuhku menggeliat. Kudorong tangannya dari bahuku. Aku berdiri. Berjalan meninggalkan Dean yang hanya memandangiku tanpa berkomentar.

Aku melangkah ke balkon apartment mewah Dean. Angin dingin malam hari menyambutku. Membuat ujung kemeja dan rambut cokelat kepiranganku bergoyang seirama.

Tanganku yang dingin menyatu dengan bilah-bilah besi pagar pembatas balkon yang jauh lebih dingin. Mataku perlahan bergerak mengikuti lampu-lampu kendaraan yang bekelok di kejauhan. Aku tersenyum tipis. Sesuatu yang hangat mulai menelusup ke dalam relungku. Membuat kelopak mataku terpejam perlahan-lahan. Dia datang lagi. Dalam bentuk ingatan yang selalu terasa menyenangkan.

***

‘Masalahnya kami tidak berhasil mengejar bus ke Melaka yang berangkat pukul dua.’

Begitu sms yang kukirim pada Vivian, editor majalah tempatku bekerja. Sebelumnya sudah kujelaskan kalau pesawat yang kunaikki harus berputar-putar di atas kota Kuala Lumpur selama lima belas menit karena menunggu sinyal mendarat dari menara pengawas. Sehingga bus yang berangkat ke Melaka pukul dua tidak dapat terkejar.

Kumasukkan ponselku kembali ke dalam tas selempang di pangkuanku. Kututup zipper tas penuh kehati-hatian karena sehari yang lalu aku menjatuhkan tas ini di toilet kantor. Alhasil ada robekan pada pangkal zipper.

Ponselku bergetar lagi tapi aku sengaja membiarkannya. Aku tidak mau berdebat dengan Vivian. Aku sudah cukup pusing memikirkan bagaimana cara menuju Melaka selain menunggu bus selanjutnya yang baru akan berangkat pukul empat sore waktu Malaysia.

Kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Menyebalkan. Kenapa juga masalah terjadi ketika aku harus mewawancari seorang narasumber penting -seorang traveler berkewarganeragaraan Belanda, dia termasuk orang pertama yang mempopulerkan gaya wisata backpacker. Aku membuat janji bertemu dengannya di depan loket tiket River Cruise pukul lime sore. Kemudian sesi wawancara akan dilakukan di atas River Cruise sambil menyusuri sungai di Melaka selama satu jam karena pukul enam dia harus mengejar bus untuk menuju Pahang.

Rasa permen karet yang kukunyah lima belas menit lalu sudah sepenuhnya hilang. Kutarik keluar selembar tisu dari dalam saku belakang celana jins belel yang sudah dua hari kupakai. Gumpalan permen karet bergulir di atas lembaran tisu yang kemudian kuremas dan kubuang ke dalam plastik transparan yang selalu kubawa kemanapun aku pergi.

Hiruk pikuk di Bandara Internasional Kuala Lumpur bertambah ketika penumpang pesawat berwajah Timur Tengah keluar dari area pengecekan paspor. Mereka berjalan terburu-buru menuju tempat pengambilan bagasi. Berharap koper mereka lah yang pertama keluar sehingga mereka bisa segera melanjutkan perjalanan -banyak orang dari negara Timur Tengah menjadikan Bandara Internasional Kuala Lumpur sebagai tempat transit untuk melanjutkan penerbangan ke negara-negara Asia Tenggara dan Australia.

Aku duduk di salah satu kursi kayu panjang di dekat tempat pengambilan bagasi. Penampilanku jauh dari kata enak dilihat. Rambut cokelat kepiranganku berantakan, wajahku kusut, sekusut pakaian yang kupakai -kaus putih tidak tersetrika, celana jins belel kotor dan jaket bahan kaus yang lengannya kugulung asal-asalan. Toh tidak akan ada yang memperhatikanku seberantakan apapun aku -kecuali mereka rela menyia-nyiakan waktu untuk memperhatikanku. Bandara internasional adalah salah satu tempat tersibuk di dunia. Penumpang tidak akan perduli dengan orang lain, hanya perduli pada diri mereka sendiri, barang-barang mereka dan pesawat yang harus mereka kejar.

Pangkal hidungku mengerut. Aku mencium aroma saus tomat yang kuat. Lalu aroma daging cincang yang dipanggang menggunakan mentega. Air liurku mengalir ke kerongkongan. Burger adalah makanan paling lezat di jagat raya ini menurut versiku.

“Kamu pasti menunggu lama.”

Dia akhirnya kembali. Membawa sepotong burger yang kuinginkan. Aku tersenyum lebar -bukan karenanya, tapi karena burger di tangannya- ketika dia sampai di kursi termpatku menunggu. Kuterima burger darinya dengan antusias. Segera kubuka bungkus burger dan mulai makan tanpa memerdulikannya.

Perlahan dia duduk menyebelahiku. Dia tidak makan, hanya minum diet coke yang gelasnya beberapa kali dia goyangkan. Aku tidak sengaja melirik tangannya ketika dia menggoyakan gelas dan melihat jarinya yang terlalu lentik untuk ukuran seorang pria.

“Project pertama yang kita kerjakan bersama berantakan,” katanya. Lalu meminum diet coke.

“Aku sudah meminta Vivian untuk mengirim Alfred. Tapi dia malah mengirimku,” kataku sambil mengunyah daun selada yang getir. “Sepertinya kita tidak cocok kerja bareng.”

Dia mengangguk setuju. “Semoga setelahnya kita tidak disatukan dalam satu project lagi.”

“Hmm…” sahutku.

Ponselnya tiba-tiba bergetar. Tangannya bergerak cepat menarik keluar ponsel dari saku celana jins. Dia terlihat tersenyum kecil.

“Halo. Kau dimana?” tanyanya tanpa basa-basi. “Aku masih di dalam. Ya, di lantai dua. Dekat tempat mengambil bagasi.”

Sedari tadi aku tidak perduli padanya, tapi mendadak aku langsung menoleh, memerhatikannya bicara tanpa berkedip ketika dia mulai menjelaskan dimana keberadaan kami sekarang.

“Ya, aku akan keluar sekarang. Tetap di tempatmu.”

Dia menoleh padaku. Tersenyum bahagia seperti baru memenangkan lotre dalam jumlah besar.

“Ayo, kita harus berangkat sekarang,” katanya.

“Pergi kemana? Bus menuju Melaka berangkat pukul empat.”

Dia menggoyangkan ponsel.

“Aku mendapatkan tumpangan. Kita kemasi barang-barang sekarang,” tangannya cekatan mengemasi barang bawaan kami yang ada di dekat kakiku. Seluruh tas -yang berjumlah tiga- dia jadikan satu dan dia bawa menggunakan tangan kiri. “Lanjutkan makanmu di dalam mobil saja,” katanya padaku. Dia melirikku, sambil tersenyum jahil.

Aku yang terkejut mendengar dia mendapat tumpangan hanya bisa diam ketika dia tiba-tiba menarik tanganku. Dia membawaku berlari ke arah eskalator. Dari belakang kulihat jaket jins yang dia kenakan berkibar, begitu juga dengan rambut hitamnya yang acak-acakan. Sesekali dia menoleh ke belakang. Melihat apakah aku baik-baik saja.

Dia masih memegangi tanganku ketika berada di atas eskalator. Dia terengah-engah. Keringat membasahi lehernya jang jenjang, menetes hingga ke kerah kaus abu-abu usang yang dia pakai. Dia menoleh kemudian menyungging senyum lebar yang membuat mata bulatnya terdorong naik.

“Kau harus berterima kasih padaku,” katanya. “Aku menyelamatkanmu sekali.”

Aku masih tetap diam. Kutatap dia dan tidak lama mataku turun, ke tanganku yang dia genggam.

Tinggalkan komentar