PANDORA

PROLOGUE

Seorang gadis kecil berumur lima tahun terduduk diam di sudut ruangan rumah barunya. Mata bulatnya bergerak mengikuti pergerakan kedua orang tuanya yang sejak pagi buta tadi sibuk menata rumah. Mereka pindah ke rumah baru itu kemarin malam. Tiba pukul tujuh dan selesai memasukkan semua perabotan pukul sepuluh. Gadis itu tidak ingat pukul berapa tepatnya dia dan kedua orang tuanya tidur. Yang gadis itu ingat, dia tidur di atas sofa ruang tamu sedang kedua orang tuanya tidur di atas tikar lipat.

Gadis itu menggapai sebuah boneka dari kotak mainan. Dia bosan. Gadis itu tercenung murung, dia ingin kembali ke rumah eyang putri di Yogyakarta. Tidur di kamarnya yang besar, bermain bersama teman-teman seusianya dan makan masakan eyang putri yang lezat.

“Nara…”

Ibu gadis itu memanggil. Tubuh ibu gadis itu tenggelam di antara tumpukan buku yang menggunung. Tangannya melambai-lambai, pertanda dia meminta Nara mendekat.

Nara berlari-lari kecil, menghindari kardus-kardus kosong yang berserakan tidak beraturan di lantai. Dengan bibir mengerucut bak bebek dia menghadap ibu. Tangan Nara berkacak di pinggang dan ibunya sontak tersenyum geli.

“Kamu lapar ya?” tanya ibu lalu melirik jam tangannya. Ibu terlihat kaget karena jam makan siang hampir tiba sedang putrinya bahkan tidak mendapatkan sarapan. “Maafkan Ibu Nara.”

Nara diam. Bola matanya mendadak bergetar. Nara hampir menangis karena ibu memasang wajah sedih. Dari belakang Ayah menarik Nara, mengangkatnya masuk ke dalam gendongan dan membawanya ke luar rumah. Ayah hampir kehilangan keseimbangan ketika mencoba menghindari kardus-kardus perabotan yang penuh di teras rumah. Lalu mereka menyeberang jalan. Menuju rumah besar di seberang jalan yang pintu pagarnya terkunci dari dalam.

“Ayah akan mendapatkan seorang teman untukmu,” kata Ayah.

Nara bergidik. Dalam pikirannya mendapatkan berarti menangkap. Berarti ayah akan menangkap seorang anak kecil untuk dijadikan teman Nara.

Ayah memencet bel rumah dan Nara kecil melihat ke dalam halaman rumah besar itu. Matanya berbinat-binar melihat sebuah ayunan warna-warni di halaman.

Penghuni rumah itu juga orang baru seperti keluarga Nara. Mereka pindah dua hari yang lalu. Semalam Ayah sudah bertemu dengan anggota keluarga itu karena mereka membantu menurunkan barang-barang keluarga Nara dari truk. Tapi, Nara tidak sempat bertemu mereka karena Ibu langsung membawanya masuk ke dalam rumah.

Pintu rumah besar itu terbuka. Seorang pria muda berbadan tegap muncul dari dalam rumah. Nara tiba-tiba meringkuk di gendongan ayah. Dia menyembunyikan wajah di dada ayah karena malu. Pria muda itu keluar bersama putranya yang seusia Nara. Berbeda dengan Nara yang malu, anak lelaki itu nampak sangat penasaran pada Nara. Dia sampai menjulur-julurkan kepala ingin melihat gadis kecil yang menjadi tetangga barunya.

“Pak Rahardi pasti menunggu lama ya? Maaf tadi saya sedang mengganti kran air jadi tidak mendengar suara bel, kebetulan istri saya sedang tidak di rumah,” kata pria muda itu. Dia menurunkan putranya karena kesulitan membuka gerendel kunci pagar.

“Tidak lama kok Pak Harsa. Ini loh Nara kesepian tidak punya teman. Jadi saya bawa ke sini supaya main bersama Pandra.”

“Pandra juga tidak punya teman Oom…”

Pandra melangkah ke luar pagar mendahului ayahnya. Dia mendongak menatap ayah Nara lalu mata bulatnya beralih pada Nara yang masih betah meringkuk menyembunyikan wajah di dada sang ayah. Pandra yang terkenal pemberani langsung menarik-narik kaki Nara dan membuat gadis itu mengibaskan kakinya.

“Aku punya robot-robotan di dalam,” kata Pandra memberitahu tapi Nara tidak mengindahkan. Dia tetap diam meski ayah juga sudah membujuknya. “Ayo main di ayunan. Ayahku membelinya kemarin.”

Nara menarik kepalanya, matanya seketika tertuju pada ayunan warna-warni di halaman rumah. Pandra menarik kaki Nara lagi.

“Ayo turun. Ayahmu pasti capek menggendongmu.”

Celotehan polos Pandra sukses membuat ayahnya dan ayah Nara tertawa. Melihat dua orang dewasa di dekatnya tertawa, anak lelaki kecil berambut hitam lebat itu ikut tertawa. Padahal dia tidak tahu apa yang ditertawakan mereka.

“Nara mau turun?” tanya ayah.

Nara mengangguk. Detik berikutnya dia sudah berdiri berhadapan dengan Pandra. Tinggi mereka sama, tapi tubuh Pandra lebih besar dari Nara. Matanya lebih bulat dan hidungnya jauh lebih mancung dari Nara.

“Pandra, gandeng Nara masuk. Nara lebih muda dari Pandra,” suruh ayah Pandra.

“Iya Yah.”

Pandra meraih tangan Nara. Dia menarik Nara berlari mengikutinya. Beruntung Nara dapat mengimbangi kecepatan Pandra sehingga tubuh keduanya tidak terjerembab jatuh ke tanah. Pandra memperlambat larinya ketika turun ke halaman rumah yang ditumbuhi rumput. Ayunan warna-warni ada disudut dalam halaman. Disekitar ayunan ibu Pandra menanam beberapa tanaman bunga dan buah yang Pandra harap tumbuh subur.

“Berapa umurmu? Aku lima tahun,” tanya Pandra. Ekspresi sombong terlihat jelas di wajah jawanya yang imut. Pandra memegangi bilah-bilah ayunan agar Nara bisa naik dengan aman.

“Aku juga lima tahun,” jawab Nara pelan. Nara sebenarnya bukan anak pemalu. Tapi dia membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan baru dan orang-orang baru.

“Kamu bohong,” balas Pandra.

Nara mengerucutkan bibir tidak suka. Dia mendorong ayunan ke belakang kuat-kuat.

“Aku lima tahun. Aku tidak bohong.”

“Tapi ayahku tadi bilang kamu lebih muda dariku.”

Nara hampir berteriak memanggil ayahnya yang masih berbincang dengan ayah Pandra di ambang pagar ketika sebuah mobil bak terbuka mengangkut perabotan rumah melintas. Seorang anak lelaki berkulit putih melompat-lompat kegirangan di atas mobil dan membuat seorang ibu paruh baya yang menjaganya ketakutan.

“Sepertinya tetangga baru sepertimu,” ujar Pandra yang ternyata juga memerhatikan mobil bak terbuka yang barusan melintas.

Tanpa aba-aba kedua anak kecil itu turun bergantian dari ayunan. Mereka berlari menghambur ke luar rumah tanpa mengindahkan ayah-ayah mereka. Pandra dan Nara turun ke jalan. Mereka melihat ke tempat mobil bak terbuka itu berhenti. Ternyata keluarga yang akan menghuni rumah tepat di sebelah rumah Nara.

Pasangan suami istri penghuni rumah itu turun dari mobil sedan berwarna silver. Nara melongo kagum melihat istri pemilik rumah itu. Dia berbadan ramping, berambut hitam panjang yang sangat lurus, kulitnya sangat putih bak porselen dan wajahnya sangat cantik. Mirip princess yang biasa Nara tonton di TV pada hari minggu.

“Selamat siang Bapak-bapak,” sapa si suami. Dia berjalan ke arah ayah Pandra dan Nara lalu menjulurkan tangan untuk berjabatan. “Saya Tantra, mulai hari ini saya dan istri saya Nadia akan tinggal di sini,” katanya setelah menjabat tangan ayah Pandra dan Nara.

Nara dan Pandra memandangi ayah-ayah mereka penuh rasa penasaran. Namun Nara sendiri jauh lebih penasaran pada pria muda yang mengaku bernama Tantra. Pada usia lima tahun Nara sudah dapat menyimpulkan seorang pria tampan atau tidak. Dan dia melihat sosok Om Tantra sebagai pria yang tampan. Sehingga pandangannya tidak bisa lepas dari Om Tantra.

“Papa!!!”

Anak lelaki kecil yang tadi Nara dan Pandra lihat melompat-lompat di atas mobil bak terbuka berlari menghambur ke arah mereka. Anak lelaki itu memeluk kaki ayahnya, bersembunyi di belakang ayahnya. Kemudian dia mengintip dari belakang kaki sang ayah. Memerhatikan dua orang dewasa asing yang tersenyum ramah kemudian beralih pada sepasang anak kecil yang tatapan matanya sarat rasa penasaran.

Tanpa ada yang menyuruh anak lelaki itu tiba-tiba melangkah maju. Dia menghampiri Pandra dan Nara tanpa ragu-ragu.

“Aku punya banyak mainan,” katanya lugu.

Pandra dan Nara tidak menjawab. Mereka hanya menatap anak berkulit putih bermata sipit itu.

“Aku juga punya banyak mainan,” balas Nara tidak mau kalah. “Aku punya satu lemari penuh mainan.”

“Aku juga,” imbuh Pandra. “Aku bahkan punya ayunan,” dia menunjuk ayunan di halaman rumah.

Anak lelaki itu nampak berfikir keras, bola matanya berputar. Lalu tiba-tiba dia memutar kaki dan berjalan ke arah rumah keluarga Pandra. Anak itu berlari masuk ke halaman dan membuat Pandra juga Nara kaget bercampur kesal.

“Dio, kamu harus meminta izin dulu,” teriak papanya.

“Tidak apa-apa Papa…” balasnya santai lalu melompat naik ke ayunan.

Dio tersenyum menang karena Pandra dan Nara masih berdiri di luar pagar. Tapi Dio tidak ingin main sendirian, jadi dia melambai-lambaikan tangan agar mereka bermain bersamanya.

Pandra dan Nara menghambur masuk ke halaman rumah. Mereka berusaha saling mendahului karena hanya satu orang saja yang bisa naik ke atas ayunan. Dan karena Pandra lebih besar dan juga karena dia seorang laki-laki maka dia lah yang menang. Sedangkan Nara terduduk di atas rumput halaman sambil merengut.

Nara menatap dua orang anak lelaki teman barunya dengan mata berapi-api karena kesal. Tapi dua anak itu tidak mengindahkannya dan mulai bermain ayunan. Lalu Dio tiba-tiba menarik sebungkus permen dari dalam saku celananya dan melemparkannya pada Nara.

“Aku tidak suka adik kecil cengeng. Kalau kamu mau jadi adikku, kamu tidak boleh menangis,” katanya.

“Aku sudah lima tahun. Aku bukan adik kecil,” seru Nara kesal. Karena tadi pun Pandra memperlakukannya seperti adik kecil padahal usia mereka sama.

“Berapa umurmu?” tanya Pandra pada Dio.

“Empat tahun.”

Mendengar itu Nara dan Pandra sontak berusaha menghentikan laju ayunan bersama-sama. Nara menatap Dio tajam sedang Pandra berkacak pinggang.

“Kamu yang adik kecil, kamu yang turun,” perintah Nara.

“Iya… Adik harus menunggu kakaknya bermain,” imbuh Pandra.

“Aku punya mobil-mobilan canggih. Kalian boleh meminjamnya asalkan aku boleh bermain ayunan di sini,” tawar Dio. Dia duduk mencengkeram bilah-bilah besi ayunan agar Pandra dan Nara tidak bisa menggulingkannya turun dari atas ayunan.

Mereka bertiga akhirnya saling dorong. Nara dan Pandra bersatu agar Dio turun dari ayunan. Dio berteiak meminta pertolongan, tapi ayahnya hanya menonton dan tertawa bersama ayah Pandra dan Nara.

Tinggalkan komentar