PANDORA

HADIAH TANPA NAMA PENGIRIM

Mendapat PR pada hari Sabtu dan harus dikumpulkan pada hari Senin jam pertama adalah kenyataan sangat buruk yang merusak hari Minggu Nara. Disaat seharusnya Nara bisa sedikit santai, dia malah harus bangun sangat pagi mendahului semua orang di rumah. Tanpa mandi dan hanya mencuci muka serta gosok gigi Nara langsung duduk di kursi meja belajar. Membuka buku paket matematika yang tebalnya sebelas dua belas dengan buku KUHP kepunyaan Ibu.

Nara tidak suka matematika, dari dulu. Namun, sebagai seorang siswa -yang sebenarnya tidak teladan- Nara tetap berusaha menyelesaikan tugas-tugasnya sebaik mungkin. Tujuan dari semua usahanya tidak muluk-muluk karena Nara ingin kuliah di kampus bergengsi namun karena Nara ingin lulus dengan predikit baik -Nara menyadari kemampuan dan kapasitas otaknya jadi dia tidak mau muluk-muluk bermimpi menjadi juara satu lebih-lebih masuk UI.

Nara melenguh saat tidak berhasil mendapatkan jawaban dari soal yang dia kerjakan. Dari sepuluh soal yang Nara kerjakan sejak dua jam lalu, hanya tujuh soal saja yang bisa Nara jawab, selebihnya Nara hanya mencoret-coret kertas kosong yang jauh lebih tebal dari buku tulis matematikanya. Sebenarnya di komplek tempat Nara tinggal ada satu orang yang sangat jenius di bidang matematika. Namun, meminta bantuan pada orang itu sama artinya Nara menggali kuburannya sendiri. Nara paling benci diceramahi sambil dikatai bodoh. Dan orang itu selalu melakukan dua hal itu. Dia bahkan tak segan memojokkan Nara sampai-sampai Nara sendiri jijik pada kebodohannya.

Pintu kamar Nara diketuk dari luar. Ibu memanggilnya, suara ibu serak karena tidur kemalaman. Nara segera bangkit berdiri, berjalan ke pintu. Dengan cepat Nara membuka kunci pintu. Bibirnya seketika mengerucut melihat Ibu dalam balutan daster kebanggaannya berdiri menenteng tas belanjaan sambil tersenyum-senyum.

“Ayo ke pasar,” ajak ibu.

Nara tidak bereaksi. Dia hanya memasang wajah memohon belas kasihan. Reaksi ibu lagi-lagi sama seperti minggu kemarin, tanpa bicara ibu menarik Nara mengikutinya. Nara bahkan tidak sempat menutup pintu kamar hingga kamarnya yang dominan warna biru muda -warna favoritnya- terpampang jelas dari luar.

***

Nara merasa beruntung ibu tidak gila-gilaan belanja seperti minggu lalu. Nara berterima kasih banyak pada ayah karena sudah memarahi ibu. Bayangkan saja, gaji orang tua Nara sudah separuh lebih habis untuk keperluan belanja padahal sekarang baru tengah bulan. Alasan itulah yang membuat ayah akhirnya memarahi ibu.

Kedua orang tua Nara bekerja. Ibu Nara seorang pengacara yang tergabung dalam sebuah perusahaan firma hukum. Ayah Nara sendiri seorang dosen ilmu komunikasi. Ibu dan Ayah Nara dulunya pasangan kampus, mereka pacaran hampir tujuh tahun lalu menikah, memiliki Nara dan hijrah ke Jakarta saat Nara berumur lima tahun.

Dengan kedua orang tua yang sibuk, Nara kecil diasuh eyang putri. Ketika Nara pindah ke Jakarta, eyang pun segera menyusul. Nara adalah cucu kesayangan eyang, saat itu dia masih cucu satu-satunya.

Kondisi yang sama juga terjadi pada Pandra dan Dio. Kedua orang tua mereka juga bekerja dan membuat mereka diasuh oleh pembantu. Tapi Pandra dan Dio lebih sering menghabiskan waktu bersama Nara dan eyang putri ketimbang bersama pembantu mereka. Dulu kamar Nara tak ubahnya kamar Dio dan Pandra juga. Ada tiga kasur lipat yang digunakan mereka untuk tidur siang bersama, pakaian-pakaian Dio dan Pandra yang tertinggal di rumah Nara ditumpuk di dalam lemari pakaian Nara, belum lagi mainan-mainan mereka yang sengaja digabungkan menjadi satu di dalam kotak mainan Nara.

Kala memikirkan masa kanak-kanak, Nara selalu teringat banyak sekali momen yang dia lalui bersama kedua sahabatnya. Pindah ke kompleks perumahan tempat tinggalnya merupakan keputusan tepat yang orang tuanya ambil. Jika tidak pindah ke sini, Nara tidak mungkin bertemu Pandra dan Dio.

“Nara langsung ke kamar ya Bu,” pamit Nara. Ibu tidak menghalang-halangi karena tahu putrinya harus lanjut mengerjakan PR.

Sebelum masuk kamar Nara mengambil sebotol jus jeruk kemasan dari dalam lemari es. Dapur keluarga Nara seperti biasa bersih dan tertata. Sepulang kerja ibu selalu menyempatkan waktu untuk membersihkan rumah. Ibu Nara tidak melupakan tugas utamanya sebagai seorang istri sekaligus ibu meski dia perempuan karir.

Nara berjalan melewati ruang tengah, menuruni tiga undakan tangga untuk menuju kamarnya yang tepat bersebalahan dengan kamar mandi. Rumah Nara cukup besar, dulu pada tahun 1995 harga rumah tidak semahal sekarang. Dari bantuan seorang kerabat, orang tua Nara berhasil membeli rumah dua lantai dengan empat kamar tidur, ruang tamu luas, ruang keluarga dan tiga kamar mandi menggunakan uang yang mereka tabung sejak sebelum menikah. Ditambah, ayah dan ibu membeli rumah kala perumahan itu baru dibuka. Awalnya perumahan itu sepi dan cukup jauh dari keramaian, tapi lama-lama perumahan itu ramai dan tanah kosong disekitar perumahan mulai dibangun menjadi perumahan lain serta gedung-gedung pusat perbelanjaan.

Nara mengernyitkan kening hingga alis hitamnya hampir bertautan. Nara ingat betul, pintu kamarnya terbuka lebar-lebar ketika ibu menggelandangnya pergi. Ayah yang sejak pagi sibuk mengerjakan materi bahan ajar tidak mungkin mau repot-repot turun ke lantai satu hanya untuk menutup pintu kamar putri semata wayangnya.

Sejurus kemudian Nara menghela nafas berat. Dia memegang kenop pintu, memutarnya ke kanan lalu mendorong pintu kuat-kuat. Nara berdecak ketika pintu terbuka. Dengan kesal dia melangkah masuk ke dalam kamarnya yang jadi sangat kacau. Selimutnya jatuh di lantai, bantal-bantal berjatuhan di bawah tempat tidur Nara yang berukuran queen, seprai kusut, boneka-boneka mungil di atas meja sudut kamar hampir jatuh dan banyak kekacauan lain yang menyakitkan mata.

“Kapan kalian masuk kamarku?” tanya Nara seraya berjalan lunglai ke tempat tidurnya. Dio tengkurap di tempat tidur Nara, tangannya sibuk membolak-balik majalah fashion koleksi Nara.

“Setengah jam yang lalu,” jawab Dio tanpa memperhatikan Nara.

Nara duduk di tepian tempat tidur. Matanya memicing memperhatikan Pandra yang mengerjakan soal matematika Nara. Suatu pemandangan yang aneh melihat Pandra dengan senang hati mau mengerjakan tugas-tugasnya.

“Mana, berikan jus jerukmu padaku,” perintah Pandra, tangan kirinya menengadah dan tanpa berkomentar Nara menyerahkan sekotak jus jeruk dingin pada lelaki itu.

Pandra membuka segel kotak jus jeruk menggunakan satu tangan. Lalu dia menenggak jus jeruk hingga hanya tersisa setengah botol. Pandra sudah kembali serius mengerjakan soal matematika beberapa detik setelah meletakkan kotak jus jeruk di tengah-tengah meja belajar.

“Siapa yang menyuruhmu mengerjakan PR ku?” tanya Nara tiba-tiba. Pertanyaan Nara membuat Dio mendelik, dia memukul punggung Nara karena perempuan itu jelas-jelas cari masalah.

Pandra berhenti menulis, bolpoin dia letakkan begitu saja di atas meja belajar. Tubuh Pandra berputar, menghadap ke arah Nara yang dengan santai melipat tangan di depan dada sambil mengangkat dagunya untuk memunculkan kesan arogan.

“Dasar bodoh,” desis Pandra.

Nara melotot. Tangannya mengepal sampai buku-buku jemarinya memutih. Desis suara Pandra tidak mengenakkan hati ditambah senyum miring yang barusan terbit di bibirnya. Lelaki itu memang cari masalah, begitu pikir Nara.

Dengan cepat Nara berdiri dan berjalan menghampiri Pandra tiba-tiba saja tangannya sudah menjambak rambut hitam lelaki itu. Pandra memekik kesakitan karena ulah Nara. Dia memukul-mukul tangan Nara, meminta Nara berhenti menjambaknya. Namun Nara sudah kepalang kesal pada Pandra yang seperti tidak ada bosan-bosannya memanggil Nara bodoh.

“Lepaskan rambutku!!!” seru Pandra.

“Berhenti memanggilku bodoh!!! Aku benci mendengarnya!! Aku nggak sebodoh itu!!!” balas Nara. Jambakannya menguat.

Dio mendesah lemas melihat Pandra dan Nara yang sangat kekanakan.

“Hei bocah, sudahlah…” suruh Dio.

Dio bangkit, beranjak dari atas kasur menghampiri Nara dan Pandra yang tengah adu fisik. Hanya dengan satu tarikan Dio berhasil membuat tangan Nara terlepas dari rambut Pandra. Dio menggelandang Nara kembali ke tempat tidur namun sebelumnya Dio lebih dulu memukul kepala bagian belakang Pandra.

“Wah kalian ini benar-benar menjengkelkan….” keluh Dio. Mata Dio tertuju pada Nara. “Jangan kekanakan deh.”

“Pandra yang memulai,” bela Nara.

Pandra melotot tidak terima. “Kamu benar-benar bodoh,” ejeknya dalam desisan.

“Yak!!”

Dio membekap mulut Nara. “Diamlah… Ndra ada apa denganmu? Nggak biasanya kamu cari masalah dengan singa betina ini.” Pandra mengedikkan bahunya dan tatapan kesalnya lagi-lagi tertuju pada Nara yang sudah kembali mengepalkan tangan. “Ah, kalian ini!!!” Dio berteriak kesal.

“Kenapa kamu yang gantian marah?” sengak Pandra.

“Menyebalkan. Aku seperti melihat diriku sendiri yang sedang bertengkar dengan Nara. Tsk, ternyata seperti inilah rasanya.”

“Baguslah kamu merasakannya sendiri. Kesal dan sesak di dada bukan?” Pandra menggeleng-gelengkan kepala.

“Bisakah kalian keluar dari kamarku!!!?” Nara berteriak. “Aku harus mengerjakan PR matematika. Tolong jangan ganggu aku!”

“Kami nggak mengganggumu, buktinya Pandra malah membantumu mengerjakan PR.”

“Bantuannya lebih seperti gangguan mengerikan,” Nara melirik Pandra sinis.

“Kamu menyuruh kami keluar karena menyembunyikan sesuatu? Sesuatu yang sangat rahasia?” tanya Pandra tiba-tiba.

Dio melotot. Perkataan Pandra seperti sengatan listrik yang membuat kerja otaknya menguat. Dio langsung berdiri, menghampiri meja belajar Nara dan mulai membuka setiap laci serta lemari.

“Pandra, kamu membuatnya jadi seperti orang gila,” sungut Nara.

“Aku yakin kamu menyembunyikan sesuatu,” balas Dio.

“Dia memang menyembunyikan sesuatu dari kita.”

Tubuh Nara mengejang, matanya mendelik. Reaksi Nara yang amat kentara sontak saja membuat Pandra tersenyum miring. Mudah sekali menarik Nara masuk ke dalam perangkapnya.

Tsk, ternyata kamu memang menyembunyikan sesuatu dari kami.”

“Tidak!!!!” elak Nara.

Pandra mengangkat tas sekolah Nara, dibukanya tas Nara begitu saja. Nara kontan berdiri, melangkah lebar-lebar ke arah Pandra untuk merembut tasnya. Tapi belum sempat Nara merebut tasnya, Pandra sudah mengeluarkan kotak kado berwarna merah muda berpita biru. Pandra langsung melemparnya pada Dio. Wajah Dio berseri-seri ketika berhasil mendapatkan kotak kado itu. Dia berlari ke sudut kamar menghindari kejaran Nara.

“Kembalikan…” Nara memohon.

Dio mengangkat tinggi-tinggi kotak kado itu ke udara. Kakinya berjinjit karena Nara coba melompat untuk merebut kotak itu. Dari arah belakang Pandra melingkarkan tangannya di pinggang Nara. Ditariknya Nara ke tempat tidur lalu dia gulingkan di sana. Nara mencoba bangkit tapi Pandra menangkap pergelangan tangannya, ditariknya kembali Nara ke tempat tidur lalu dia tindih dengan punggung.

“Wow.. ternyata Nara punya pengagum rahasia….”

Dio melirik manja ke arah Nara. Lirikan mengejek itu tentu saja membuat Nara marah. Nara memaki Dio dengan kata-kata kasar yang semakin membuat Dio bersemangat menggoda Nara.

“Kapan kamu mendapat kado itu?” tanya Pandra ganti.

Nara memicing marah. Dia menggerak-gerakkan badan agar berhasil lepas dari penguasaan Pandra.

“Lepaskan aku!!” perintah Nara, suaranya mendesis.

“Jawab dulu pertanyaanku!”

Nara tidak memperdulikan permintaan Pandra, tubuhnya bergerak semakin kuat.

“Sudah jangan tindih dia lagi Ndra. Badanmu lebih besar darinya,” Lelaki berwajah oriental itu membuka bungkus kado sambil berjalan ke tempat tidur Nara. Dia terkikik geli ketika kotak kado terbuka. “Cokelat?” Dio terbahak-bahak. “Hanya cokelat? Kupikir barang mahal.”

“Kamu pikir ada orang yang mau memberikan barang mahal buat Nara?”

“Yak!!!”

Baik Dio maupun Pandra tidak bisa menahan tawa. Dio pun bergabung dengan Pandra. Dijitakinya puncak kepala Nara penuh semangat. Di bawah penguasaan kedua sahabatnya Nara hanya bisa pasrah. Nara yang semula meronta-ronta meminta dilepaskan pada akhirnya diam. Ini adalah Minggu paling sial yang pernah terjadi di hidupnya.

“Apa kamu tahu siapa yang mengirimimu hadiah?” tanya Dio. Nara menggeleng. “Yakin?”

Nara mengangguk mantap. Toh memang itulah kebenarannya. Nara tidak tahu siapa orang yang memberinya kado, dan dia tidak punya rasa penasaran pada pengirim itu. Nara merasa masih terlalu dini untuk memikirkan cinta, usianya pun masih tujuh belas tahun. Disamping itu, Nara belum punya nyali memperkenalkan seorang lelaki yang berstatus kekasih pada ayah dan ibu.

“Nara, kamu ingat cowok tinggi berkaca mata yang naksir berat padamu waktu SMP? Aku dengar dia berhasil kuliah di luar negeri.”

Pandra menggeser badannya agar tidak lagi menimpai Nara. Mereka bertiga berbagi tempat di tempat tidur Nara.

“Oh Han. Tentu saja aku ingat.”

“Cowok itu meninggalkan kesan mendalam buat Nara,” timpal Dio yang tidur memunggungi kedua sahabatnya. Lelaki itu sengaja memunggungi Nara dan Pandra agar cokelat di tangannya tidak mereka rebut.

“Dia menguntitku sampai ke tempat les. Kalian ingat?”

“Mungkin karena kamu terlalu cantik.”

Pandra tertawa melihat Nara mengerucutkan bibir kesal. Kalimat Dio barusan tidak terdengar seperti sebuah pujian, sebaliknya malah seperti ejekan.

“Kalau saja kamu berpacaran dengan Han pasti sekarang kamu banyak mendapat hadiah-hadiah dari luar negeri,” ujar Pandra. Tubuhnya miring menghadap Nara yang sejak tadi betah tengkurap.

“Kalian berdua nggak punya topik pembicaraan lain ya?” tanya Nara ketus.

“Aku sudah menyelesaikan PR mu,” celetuk Pandra.

Nara menghembuskan udara lewat mulut. “Terima kasih Pandra…” desis Nara emosi.

“Kenapa kamu sangat bodoh di pelajaran matematika?”

“Kamu nggak ingat nilai try out matematika Nara waktu kelas 3 SMP ya? Dia kan dapat 0,38.”

“Dio!!”

“Memang kebenarannya seperti itu ‘kan.” kekehan tidak bersalah Dio menyulut emosi Nara. Hampir saja Nara memukul kepala Dio jika saja Pandra tidak lebih dulu mencengkeram kedua tangan Nara yang berada di atas kepala.

“Lepaskan Ndra. Sakit…”

“Akan kulepaskan tapi jangan pukul Dio. Janji?”

Nara mengangguk mengiakan. Sorot mata Nara begitu mirip tatapan anjing kecil yang meminta belas kasihan.

“Jangan mempercayainya,” cetus Dio yang tiba-tiba saja sudah berdiri. “Aku habiskan ya cokelatnya.”

“Sisakan sedikit untukku. Cokelat itu kan untukku,” Nara protes. Nara tidak terima cokelat itu Dio habiskan sendirian apalagi Nara lah pemilik sahnya. “Ndra lepaskan tanganku.”

Sesuai permintaan Pandra melepaskan cengkeramannya dan seperti dugaannya, Nara langsung turun dari tempat tidur dan melesat ke arah Dio. Kali ini Dio tidak berhasil menghindar dari Nara. Beberapa pukulan sudah mendarat di tangan dan punggung Dio.

“Baiklah, baiklah.. Makanlah semuanya…”

Senyum kemenangan tentu saja terbit di bibir tipis Nara sambil dia melenggang menuju meja belajar. Sudah sepatutnya dia yang menjadi pemenang pada setiap pertengkaran dengan mereka, dia satu-satunya perempuan dan seperti yang Nara yakini: perempuan tidak bisa dikalahkan.

“Nara, kamu nggak berniat mencari tahu siapa orang yang mengirimimu hadiah?” tanya Dio.

Rasa penasaran Dio sangat besar. Dio benar-benar ingin tahu orang seperti apa yang berani mengirim hadiah pada seseorang yang tidak mungkin perduli pada hadiah itu, apalagi perduli pada orang yang mengirimnya. Nara super dingin pada hal-hal berbau pacaran dan cinta. Dia bahkan bilang baru akan memikirkan pacaran ketika kuliah. Itu pun kalau dia sudah siap membuka hati.

“Apa kamu sepenasaran itu?”

Dio mengangguk. “Tentu saja. Pandra, kamu juga penasaran kan?”

Nara menatap Pandra, penasaran pada rekasi lelaki itu. Nara tergelak kala Pandra menganggukkan kepala canggung. Mau mencoba menutupi seperti apapun, Nara tahu kalau sejatinya Pandra sangat perduli pada hidupnya dan kadar keperduliannya sama tingginya sepert Dio.

“Kenapa nggak kalian saja yang mencari siapa orang yang mengirimiku hadiah?”

Dio melotot. “Aku nggak salah dengar?”

“Lakukanlah.. Cari tahu siapa orang itu.”

Pandra berguling ke tepian tempat tidur Nara. “Bagaimana caranya?”

Nara mengedikkan bahu. “Itu urusan kalian. Aku nggak mau ikut campur. Kalian lah yang penasaran, bukan aku.”

“Baiklah. Secepatnya kami akan membawa cowok itu ke hadapanmu,” kata Dio lalu merapatkan punggungnya ke tembok kamar yang berwarna biru muda.

“Jangan lakukan atau aku akan menghajar kalian…”

“Bagaimana Ndra?”

Pangkal hidung Pandra mengerut. “Bukan hal yang sulit mencari cowok itu. Aku bisa meminta bantuan anak-anak OSIS,” Pandra menggiring matanya pada Nara yang sedang menggigit-gigit bibir bawahnya. “Siapkan nyalimu untuk bertemu dengan cowok itu.”

“Ah… Kalian membuatku gila,” geraman kesal Nara menjelaskan bagaimana suasana hatinya. “Keluar dari kamarku sekarang. Tidak. Keluar dari rumahku sekarang.”

“Yang berhak mengusir kami adalah orangtuamu, bukan kamu,” Dio sengaja menjulurkan lidah. Membuat Nara kesal adalah kegiataan paling menyenangkan untuk mengisi minggu paginya.

“Hei anak-anak, apa kalian sudah selesai ributnya?” kepala ibu Nara tiba-tiba muncul dari balik pintu. Ibu melambai-lambaikan tangan pada Pandra yang masih rebahan di tempat tidur Nara. “Masakan Tante hampir matang. Ayo sarapan bersama, Om pasti senang melihat ruang makan ramai.”

“Ibu!! Suruh saja mereka pulang,” rengek kekanakan Nara.

“Kamu! Bereskan dulu kamarmu sebelum turun ke ruang makan. Perempuan tapi nggak tahu bersih-bersih. Kamu mau setiap hari dimarahi oleh mertuamu nanti?”

“Mamaku sangat benci perempuan jorok,” kata Dio.

“Bunda bilang dia nggak akan segan-segan memukul menantunya yang jorok,” lanjut Pandra.

“Siapa juga yang akan menikah dengan kalian berdua!!!” teriak Nara keras-keras.

Teriakan marah Nara sontak membuat ibu, Pandra dan Dio tertawa. Mereka bertiga buru-buru keluar dari dalam kamar Nara, meninggalkan Nara yang harus membereskan kekacauan itu sendirian.

Tinggalkan komentar