PANDORA

DUA BELAS TAHUN KEMUDIAN

-AGUSTUS 2007

“Kau membawanya ‘kan?”

Pertanyaan Nara menghentikan langkah terburu-buru Dio. Dio membeku. Bayangan wajah mengerikan Nara kala kesal mulai bekelebat di dalam pikirannya.

Nara meraih bahu Dio. Dalam sekali tarikan perempuan berambut panjang itu berhasil membuat tubuh Dio berputar menghadap padanya.

“Mana?” tanya Nara, tangannya menengadah.

Dio sengaja menghindari tatapan Nara. Mata sipitnya jelalatan memandang ke arah lain. Beruntung Dio melihat Pandra datang dari arah lorong depan sekolah. Dio melambai-lambaikan tangan meminta Pandra untuk segera mendekat dan menyelematkannya dari cengkeraman Nara.

“Pandra kamu nggak usah ikut-ikutan. Ini urusanku sama Dio,” suruh Nara. Tangan Nara belum lepas mencengkeram kerah kemeja sekolah Dio.

“Sudahlah Nara.”

Pandra menarik tangan Nara hingga terlepas dari kerah kemeja sekolah Dio. Tanpa babibu Pandra menarik Nara mengikutinya masuk ke area dalam sekolah. Dio mengekor di belakang mereka sambil merapikan kerah kemejanya yang jadi kusut karena ulah Nara.

“Dio sudah janji padaku Ndra.”

“Iya aku tahu. Tapi mengambil bedak mamanya bukan hal yang mudah ‘kan?” Pandra menoleh ke belakang. Dilihatnya Nara mengerutkan batang hidungnya. “Kamu sendiri bahkan belum cukup umur untuk memakai bedak,” sambung Pandra.

“Benar… Kamu bahkan belum pubertas,” imbuh Dio kemudian menarik rambut panjang Nara yang selalu dikuncir kuda.

“Kata siapa aku belum pubertas!?” Nara berteriak keras-keras. Meskipun sekolah masih sepi, tapi sudah ada beberapa siswa yang berangkat dan mereka mengarahkan perhatian pada trio Pandra, Dio dan Nara yang setiap pagi berangkat bersama. “Aku sudah pubertas bodoh,” cicitnya pelan.

Dio merangkul Nara dan sengaja membebankan sebagian berat tubuhnya pada Nara.

“Buktikan kalau kamu memang benar-benar sudah pubertas,” tantang Dio.

“Dio…” tegur Pandra. Anak lelaki berbadan tinggi tegap itu tiba-tiba berhenti di depan koperasi sekolah yang belum buka. Pandra melepas tangan Nara dan kini berkacak pinggang di hadapan kedua sahabatnya. “Berhentilah bertengkar, please!! Atau aku nggak akan segan-segan membawa kalian ke ruang BK untuk mendapatkan konseling jika kalian terus-terusan ribut seperti ini.”

Baik Nara dan Dio mengerucutkan bibir mereka. Keduanya berusaha mendekati Pandra yang kelihatan sekali tidak ingin disentuh oleh mereka. Dengan sedikit kekerasan Dio berhasil memiting leher Pandra kemudian Nara menggamit lengan lelaki itu.

“Jangan jahat pada kami Ndra…” pinta Nara dengan suara manja andalannya.

“Nara benar. Kamu nggak boleh jahat pada saudara sendiri.”

“Sejak kapan aku punya saudara seperti kalian?” Pandra memelototkan mata kesal. Dia berusaha melepaskan diri dari Nara dan Dio tapi semakin dia memberontak, maka Nara dan Dio akan semakin kuat menguasai tubuhnya.

“Kamu lupa? Ssejak hari itu kamu berkeras menjadikanku adik,” jawab Nara.

“Dan kalian selalu memperlakukanku seperti adik kecil,” tambah Dio.

“Karena kamu yang termuda,” tegas Nara.

“Dan terimut tentunya.”

Pandra tersenyum miring mendengar kedua sahabatnya kembali berdebat, dan mereka lagi-lagi mempermasalahkan sesuatu yang tidak penting.

Pandra, Dio dan Nara berjalan menyusuri lorong sekolah dengan posisi yang belum berubah. Nara masih asik menggamit lengan Pandra sambil sesekali menyandarkan kepala ke lengan kokoh anak lelaki itu sedangkan Dio harus berjalan berjinjit karena belum melepaskan leher Pandra -tidak akan dia lepaskan hingga mereka sampai di kelas Pandra yang berada di ujung lorong kelas satu.

“Nara, kenapa kamu sangat terobsesi pada Mamaku?” tanya Dio tiba-tiba.

Pandra diam-diam berdecak. Pertanyaan itu sudah lebih dari sering Dio lontarkan. Dan seperti tak ada bosan-bosannya Dio sering menanyakan hal itu lagi. Nara sendiri jauh lebihbodoh karena selalu menjawab pertanyaan Dio.

“Mamamu sangat cantik. Aku bahkan tidak bisa mengedipkan mata ketika pertama kali melihat mamamu. Sampai sekarang pun Tante Nadia masih sangat cantik. Aku ingin tumbuh menjadi perempuan sangat cantik sepertinya.”

Dio tersenyum sangat lebar mendengar jawaban jujur seorang Nara. Bagi Dio, pujian untuk mamanya secara tidak langsung juga merupakan pujian untuknya. Nara memuji mamanya cantik, artinya Nara juga mengakui kalau Dio tampan.

“Kecantikan abadi Mama menurun padaku.”

Pandra tersenyum mendengar kalimat narsistik Dio. Sebaliknya, Nara memutar bola matanya kesal.

“Hei… Kalian boleh nggak mengakui kalau aku ini tampan. Tapi kalian lihat sendiri, seluruh anak perempuan di sekolah naksir padaku.”

“Kecuali aku,” Nara mengacungkan tangan ke udara.

“Karena kamu nggak pernah melihatnya sebagai seorang laki-laki,” timpal Pandra.

“Ya benar. Dimataku Dio nggak lebihnya si ingusan dan tukang ngompol di celana.”

Pandra terbahak-bahak. Kalimat Nara barusan membuat benaknya melayang jauh ke masa kanak-kanak mereka. Dio yang paling muda memiliki kebiasaan ngompol sampai kelas 3 SD dan dia tidak bisa mengelap ingusnya sendiri sampai harus dibantu Pandra atau Nara.

Pandra menepuk-nepuk lengan Dio saat tiba di depan kelasnya. Nara juga langsung melepaskan gamitannya pada lengan Pandra.

Berbeda dari kelas lain yang masih sepi, kelas Pandra sudah penuh dengan siswa. Hanya tinggal beberapa kursi saja yang kosong.

“Aku beruntung nggak masuk ke kelas ini,” bisik Dio tepat di telinga Nara.

“Kamu bisa membayangkan mengerjakan ulangan tanpa mencontek?”

Dio bergidik. “Aku nggak mau membayangkan itu,” Dio sengaja tersenyum manis. Menebarkan pesonanya pada  siswi di kelas Pandra yang sejak Dio muncul mengalihkan perhatian mereka dari buku pelajaran yang terbuka lebar-lebar di atas meja.

“Ndra, kita ke kelas dulu. Sampai bertemu istirahat jam pertama nanti.”

Bye bye…” Nara melambaikan tangan lalu berjalan mengekori Dio.

Seperti yang lalu-lalu, suasana kelas Pandra langsung riuh setelah Dio pergi. Bahkan ada beberapa siswi yang sengaja berdesakan di jendela untuk melihat punggung Dio. Nara terkikik lucu. Ternyata tidak ada perbedaan antara cewek pintar dan cewek bodoh jika berhubungan dengan cowok ganteng idola sekolah.

“Jangan menungguku di depan kelas. Tunggu saja di taman belakang sekolah,” kata Nara setibanya di ambang pintu kelasnya yang berjarak dua kelas dari kelas Dio. “Hari ini giliran Pandra yang berdesakan di kantin.”

“Nara, aku benar-benar minta maaf karena nggak bisa mengambil bedak Mama. Nanti deh di hari ulang tahunmu, akan kubelikan bedak seperti yang Mama pakai.”

Nara tersenyum lalu menepuk-nepuk lengan Dio. “Jangan pernah berjanji pada orang lain. Aku nggak mau kamu kena timpuk batu. Bye.. Aku masuk kelas dulu.”

“Nara… Kali ini aku sungguh-sungguh…”

Nara hanya melambai-lambaikan tangannya tidak perduli. Dia sangat mengenal Dio. Bukan setahun dua tahun Nara mengenal lelaki itu, tapi sudah dua belas tahun. Dio sudah seperti saudara bagi Nara, begitu juga Pandra.

Nara menarik kursinya yang berada di barisan nomor tiga dari depan. Baru ada dua siswa yang datang padahal sekarang sudah pukul setengah tujuh lebih. Setelah meletakkan tas di lantai, Nara memasukkan tangannya ke dalam laci meja untuk mengusir nyamuk-nyamuk nakal. Betapa terkejutnya Nara menemukan sebuah kotak kado berwarna merah muda yang dipercantik dengan pita biru berbentuk bunga di dalam laci mejanya. Nara tidak tahu siapa pengirim kotak itu dan Nara tidak terlalu perduli. Siapa yang mengiriminya hadiah tidak penting, yang terpenting sekarang adalah memikirkan cara agar kotak itu tidak ditemukan oleh kedua sahabatnya, terutama Dio.

***

Wajah tampan Dio kembali menghiasi mading sekolah. Seperti minggu lalu, lalu dan lalunya lagi Dio dinobatkan sebagai cowok paling ganteng seantero sekolah. Dan yang selalu terjadi, Nara mengerutkan kening tidak habis pikir sambil bergidik ngeri membaca ulasan tentang diri Dio yang ditulis oleh salah seorang anggota klub mading. Wajah Dio yang campuran Jawa-Inggris-Korea disebut sebagai harta karun kebanggan sekolah yang harus dijaga sebaik-baiknya. Belum lagi gambaran tentang fisik Dio yang Nara yakin ditulis oleh anggota mading yang seorang pemuja garis keras Dio. Membaca kata-kata seperti memabukkan, kissable, menggetarkan dan seksi pada ulasan itu membuat Nara merasa kesal. Nara yakin si penulis mading pasti menelanjangi diri Dio saat proses menulis.

“Kamu tahu siapa yang menulis ulasan tentang Dio?” tanya Nara asal pada seorang siswa yang kebetulan berdiri di sebelahnya.

“Tentu saja anak mading,” jawab orang itu yang ternyata siswa kelas 3. “Kenapa? Kamu ingin bergabung dan membuat tulisan-tulisan nggak berkelas seperti itu?”

Rasa kesal Nara memuncak karena siswa berpotongan rambut cepak itu tepat menunjuk foto Dio dan sedikit menggesekkan kukunya yang panjang ke foto Dio. Foto Dio yang sempurna kini cacat, tergores tepat di bagian wajah.

Nara menghela nafas. Detik berikutnya Nara memiringkan tubuh menghadap siswa itu. Dia sekilas membaca nama siswa itu lalu melipat tangan di depan dada.

“Nara!!!!” suara melengking Dio terdengar dari ujung lorong.

Tubuh Nara bergetar. Dio dan Pandra datang. Mereka menggagalkan usahanya menghajar kakak kelas yang merusak foto Dio. Melihat Dio dan Pandra berjalan ke arah mereka, kakak kelas itu langsung pergi. Tatapan yang dia tujukan pada Dio menjelaskan kalau dia itu tidak suka pada Dio. Sebenarnya ada banyak sekali siswa yang tidak menyukai Dio karena ketampanannya -apalagi kalau bukan itu, Dio bukan siswa pintar atau berprestasi.

“Nara… Aku menunggumu di taman belakang,” Dio mendorong tubuh Nara ke pinggir. Wajahnya berseri-seri kala membaca ulasan tentang dirinya.

Nara melipat tangannya di depan dada. “Apa aku harus menyebarkan rahasia dan kejelakanmu agar orang-orang berhenti menyukaimu? Lama-lama aku muak juga…”

“Kenapa memang Ra?” sahut Pandra. Dia mengelungkan susu rasa cokelat yang susah payah dia beli di kantin pada Nara.

“Aku kesal melihat tingkahnya,” Nara menuding Dio yang berlagak tak mendengar Nara.

Pandra tertawa. Dia sudah terbiasa mendengar celotehan kesal seorang Nara yang melulu tentang Dio. Menjadi yang tertua di antara Nara dan Dio membuat Pandra harus beperan sebagai penengah mereka. Pandra tidak boleh memihak antara Nara maupun Dio. Pandra harus adil seadil-adilnya bahkan ada kalanya Pandra harus sengaja membungkam mulut jika Nara dan Dio sedang memperdebatkan suatu hal.

“Ayo ke perpustakaan. Nindira bilang ada koleksi novel baru,” ajak Pandra.

“Kalian saja yang ke perpustakaan. Aku nggak ikut,” kata Dio.

“Aku memang nggak berniat mengajakmu,” balas Pandra.

Dio terbelalak. Dia tidak salah dengar bukan? Dio menggeram ketika kedua sahabatnya melenggang pergi tanpa mengindahkannya.

“Jangan menyusul kami,” perintah Pandra.

“Akan kugembesi sepedamu Ndra!”

“Coba saja kalau kamu berani,” balas Pandra santai.

Nara menoleh ke belakang. Dia menyungging senyum kemenangan yang membuat Dio kesal setengah mati.

***

“Bagaimana menurutmu Ndra?” tanya Nara dengan berbisik. Dia menggeser buku sketsanya ke hadapan Pandra. “Aku sedang coba-coba belajar melukis wajah. Bagaimana bagus nggak?”

Pandra meletakkan buku ensiklopedia yang dia baca ke atas meja. Ditariknya buku sketsa Nara mendekat. Pandra menggigiti bibir bawahnya, keningnya berkerut dan ekspresi wajahnya cukup sulit dibaca. Seperti sedang menimbang-nimbang, tapi juga seperti sedang meremehkan dan menahan tawa bercampur kesal.

“Jangan tunjukkan ini pada Dio. Dia akan marah besar,” ujar Pandra tak lama kemudian. “Gambarku juga… Mataku tidak sebesar tomat juga Nara. Kamu harus berusaha lebih keras.”

Nara mencemberuti buku sketsanya. Seharusnya dia percaya kata Dio, mengambar bukan keahliannya. Nara menjatuhkan kepalanya ke atas meja. Kepalanya miring menghadap Pandra yang sudah kembali sibuk melanjutkan membaca buku ensiklopedia.

“Ndra, aku bingung harus memilih kampus mana,” ujar Nara. Suaranya amat pelan. Nara tidak bersemangat. Bahasan tentang kuliah adalah topik yang akhir-akhir ini membuatnya sedih. “Kemanapun kalian pergi aku ikut deh.”

Pandra melirik Nara. Dia mendesah berat kala melihat wajah murung Nara. Pandra langsung menutup buku ensiklopedia, mendorongnya ke tengah meja kemudian dia duduk serong menghadap Nara dan menyangga kepalanya menggunakan tangan.

“Ikutlah kalau begitu. Tapi kamu harus menentukan pilihan, masuk Akademi Militer bersamaku atau kuliah di Surabaya bersama Dio.”

“Kamu nggak bisa ya kuliah di Surabaya saja? Nggak usah masuk Akmil?” tanya Nara polos. Sorot matanya kekanakan.

Pandra menggelengkan kepala. “Jangan tanyakan pertanyaan itu lagi karena kamu sudah tahu apa jawabanku. Dan jawabanku nggak akan berubah.”

Nara mengerucutkan bibirnya lagi. Kakinya menghentak-hentak lantai keramik perpustakaan. Beruntung siang itu perpustakaan tidak terlalu ramai dan petugas sedang tidak berada di tempat, setidaknya Nara tidak menjadi tontonan atau bahan gunjingan.

“Aku benar-benar nggak bisa pisah dari kalian….”

Pandra hanya mengedikkan bahu tidak perduli. Rengekan Nara tidak akan berhasil mengubah pendiriannya.

Pandra bercita-cita menjadi Taruna Angkatan Darat. Pandra pertama kali mengutarakan keinginannya untuk menjadi Taruna dan sekolah di Akademi Militer ketika duduk dikelas 5 SD. Waktu itu sepupu jauhnya berkunjung ke rumah. Kala itu dia seorang Taruna tingkat dua. Melihat sepupunya yang berwibawa dan gagah dalam balutan seragam membuat Pandra kecil jatuh hati. Sejak saat itu cita-cita Pandra tidak pernah berubah.

Berbeda dengan Pandra yang sangat teguh, Dio dan Nara sebaliknya. Mereka berdua belum tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan. Pada waktu SD Nara bercita-cita menjadi dokter sedangkan Dio menjadi polisi tapi keduanya mengganti cita-cita mereka karena Nara tidak cukup pintar untuk jadi dokter dan Dio trauma melihat kecelakaan yang harus ditangani oleh SATPOLANTAS. Sejak saat itu cita-cita mereka selalu berubah. Tak jarang Dio dan Nara malah mengikuti tren untuk menentukan cita-cita mereka.

“Kalau kamu jadi tentara, apa kamu harus pergi perang?”

Nara menatap Pandra lekat-lekat. Rasa sedih dan kasihan yang terpancar pada sorot mata Nara malah membuat Pandra kesal. Pandra menjitak puncak kepala cukup keras. Pekik kesakitan yang lolos dari mulut Nara alhasil membuat keduanya menjadi pusat perhatian. Pandra langsung bersikap sok cool. Seperti tidak ada sesuatu yang terjadi.

Pandra menarik lagi buku ensiklopedia yang harus beberapa kali dia singkirkan ke tengah meja karena ulah Nara. Dan Pandra belum sempat membaca alinea pertama ketika Nara tiba-tiba menariki lengan seragamnya. Pandra membuang nafas amat berat. Susah payah Pandra menarik sudut bibirnya ke atas.

“Ada apa lagi Nara?” tanya Pandra, bibirnya terkatup menyembunyikan seringai kesal.

Nara mendekatkan tubuhnya pada Pandra. “Ndra, kamu kenal anggota klub mading ‘kan?”

“Tentu saja. Beberapa anggota klub mading juga anggota OSIS. Kenapa?”

“Apa kamu tahu siapa orang yang bertanggungjawab menulis ulasan tentang Dio?”

Pandra menggaruk tengkuknya yang terhalang kerah kemeja sekolah. Dia coba mengingat wajah-wajah anggota klub mading. Pandra pun teringat anggota klub mading bernama Dewi, anak kelas satu. Dia memakai kacamata minus, tubuhnya mungil, berambut pendek sebahu, dia terkenal supel dan ramah.

“Dewi anak kelas satu yang menulis ulasan tentang Dio. Beberapa hari yang lalu dia sempat menanyakan beberapa pertanyaan tentang Dio padaku. Kenapa?”

Wajah santai Nara langsung berubah. Matanya menyipit, rahangnya berubah tegas dan bibir tipisnya membujur menyembunyikan seringai.

Lagi-lagi Pandra menggelengkan kepala.

“Jangan macam-macam Nara. Kamu akan berurusan denganku jika berani menyentuhnya.”

“Aku nggak akan menyentuhnya. Tapi, aku akan memakinya.”

Pandra menghela nafas. Pandra menyerah. Kesabarannya sudah habis.

“Hei… Kamu mau kemana?” pekik Nara tertahan kala melihat Pandra bangkit berdiri.

“Bel masuk sebentar lagi berbunyi. Aku nggak mau telat masuk kelas,” jawab Pandra santai lalu berjalan pergi meninggalkan Nara yang memelototi Pandra penuh rasa kesal.

Tinggalkan komentar