Siluet Di Ujung Senja

Hi, apa kabar?

Kutahu kau baik-baik saja, akan selalu baik-baik saja. Kutahu kau kuat, lebih kuat dari yang selama ini kau tunjukkan pada dunia.

Hi, apa hidupmu jadi lebih baik? Setelah masing-masing putuskan untuk saling menjauhi.

Tentu saja -kuyakin kalimat itu yang akan jadi jawaban atas pertanyaanku.

Tak dapat kupungkiri, sesekali bayangmu masih melesak. Masuk dalam celah-celah ingatan yang terasa nyata.

Kau tahu betul siapa aku. Bagaimana aku dan perangai-perangaiku. Dan kau amat tahu kalau aku paling benci melepaskan.

Namun…

Aku melepaskanmu. Dengan sengaja, penuh sadar.

Aku tak tahu isi hatimu, tak bisa membaca pun menerka. Tak mungkin tahu apakah diam-diam mungkin kau juga masih mengingatku. Meski tak sering, hanya secuil.

Sedang di sini, aku ingin memberitahumu. Tentang yang kurasakan hingga kau tak harus menerka.

Masih ada, celah-celah yang penuh terisi oleh bayangan, kenangan pun senyumanmu. Bukan aku tak ingin menghapusmu secepat-cepatnya. Tetapi aku masih tak kuasa. Hari-hari rapuh setelah perpisahan masih terasa menyenangkan, masih kunikmati meskipun buatku jadi tidak baik-baik saja.

Hi, siluet di ujung senjaku. Hi, yang ingin kulepaskan tapi tak mampu kulupakan.

Akankah ada waktu, kita tiba-tiba bertemu? Tanpa sengaja, tidak saling merencanakan? Apakah Tuhan menggariskan pertemuan kita kembali?

Ketika waktu itu tiba, kuharap kalimat tak mampu kulupakan seutuhnya lenyap.

Karena…

Aku ingin berdiri di depanmu tanpa embel-embel tidak baik-baik saja.

Hi, siluet di ujung senjaku.

Lihatlah, ke barat, ke cahaya yang berpendar di angkasa. Apakah kau bisa melihatnya? Jingga… Yang mungkin akan mengingatkanmu pada seseorang.

 

Tinggalkan komentar