Sepenggal Kenangan Tentang Gili Air Lombok

Bersua kembali dengan kenangan yang masih kusimpan rapi dalam memori otak. Kali ini aku ingin sedikit bercerita tentang Gili Air. Tempatku hidup untuk beberapa waktu sebelum putuskan untuk menetap di Kota Mataram -mencari keramaian hangat yang cukup kurindukan.

September 2017, aku terbang bersama burung besi menuju Pulau Lombok. Tahukah, rasanya tidak seperti akan pergi jauh meninggalkan keluarga. Keluargaku yang lain sudah menanti di sana. Teman-teman merantauku di Yogya, para pejuang Sarjana Pariwisata yang sudah kembali ke Lombok. Mereka menantiku.

Tiba di Lombok, aku langsung bertolak ke Gili Air. Aku yang buta arah pun tak tahu apa-apa pasrah saja kala sopir melajukan mobilnya. Sepanjang jalan Beliau bercerita, celoteh-celoteh ringan tentang Lombok, Gili Air dan hal menakjubkan tentang pulau berjuluk surga ini. Ceritanya jelas membuatku tergoda, untuk tahu lebih jelas tentang cantiknya pulau ini. Terlebih, aku membuktikan sendiri jika pulau ini memang cantik. Seperti barisan pegunungan hijau yang mengiringiku sepanjang jalan.

Tiba di Kawasan Wisata Senggigi, aku kembali dibuat takjub. Oleh garis pantai menakjubkan dan tumbuhan hijau serupa nyiur-nyiur kelapa. Perjalanan menuju pelabuhan penyeberangan pun terasa cepat. Lebih cepat dari yang kubayangkan.

Singkat cerita, sampailah aku di Gili Air. Pada waktu sore. Turun tepat di bibir pantai resort yang mempekerjakanku sebagai FDA (Front Desk Agent).

Biasa saja, begitu yang terbersit di hatiku. Tak semenarik Phang-Nga, Thailand Selatan yang buatku jatuh cinta beberapa tahun lalu. Pulau ini hanya tempat para wisman berjemur dengan pemandangan yang tidak lebih bagus dari Karimunjawa. Letaknya yang berada paling dekat dengan daratan utama yang mungkin jadikan Pulau Ini ‘primadona’.

Sehari dua hari, aku masih merasa biasa. Pekerjaan juga tiada beda: penuh tekanan khas industri perhotelan pada umumnya. Haruskah penilaianku pada Pulau Lombok anjlok?

Tidak….

Akhirnya kutemukan apa yang rasa cintaku tumbuh besar. Melekat kuat dalam hati.

Adalah jingga di ufuk barat. Yang sore hari selalu kemerlap megah jika mendung kelabu tak muncul untuk jadi pengganggu.

Momen senja di Gili Air adalah yang terbaik. Berkali-kali lipat lebih baik dari Telok Cempedak Malaysia, Apsara Beach, White Sand Beach bahkan Patong Beach Thailand. Kala senja datang, semburatnya begitu cemerlang. Berkas oranye memulas langit cerah yang miliki titik-titik abstrak putih. Kemudian perlahan-lahan landai mendekati horizon di ufuk barat. Kilaunya pun menyebar di atas permukaan laut. Megah, sekelas emas.

Penggalan kenangan tentang kisah senja lah yang paling melekat di memoriku. Kisah yang hidup di dalam sebuah kisah.

Saat ini aku sedang menanti waktu untuk kembali menginjakkan kaki di Gili Air. Kembali bersua dengan senjaku yang manis.

Hi, tunggu aku. Ku berjanji, kapalku akan segera berlayar. Menjemputmu. Di tempat biasa kita saling pandang penuh rindu.

Tinggalkan komentar