Siluet Jingga (Satu)

Siluet Jingga.

Joa mengintip ke luar melalui celah tirai yang sempurna menutup jendela kamarnya. Langit belum berhenti menangis sejak sore. Menyebalkan. Sebab Joa memiliki janji temu dan dia tidak mungkin pergi dengan mengendarai motor bebek kesayangannya.

Lipstik merah perlahan memulas bibir pucat Joa. Gadis itu menyukai lipstik warna terang seperti merah semenjak kulitnya menghitam terbakar matahari. Memakai lipstik berwarna terang membuatnya merasa lebih manusiawi dan tentu saja cantik.

Gadis itu mendengus ketika ponsel yang dia geletakkan begitu saja di atas tempat tidur kembali bergetar. Ketiga sahabatnya masih berulah. Grup chat WA messanger mereka ribut sejak sore. Karena hari ini Joa memiliki janji temu dengan seorang teman yang akan mengenalkannya dengan seseorang. Pria. Itulah yang menyebabkan sahabat-sahabat Joa ribut.

Joa menyambar ponselnya dengan setengah hati. Lantas merebahkan tubuh di pinggiran tempat tidur. Dia terkikik, membaca chat ketiga sahabatnya yang tak karu-karuan.

‘Janji temu ini untuk membahas pekerjaan. Nggak lebih dari itu’.

Detik selanjutnya Nin, Nji dan Lie Lie langsung membalas. Chat mereka bergantian masuk. Joa yang menyaksikan kehebohan sahabat-sahabatnya di grup chat hanya bisa tertawa-tawa seraya berdiri kemudian meraih tas bahu. Joa melintas di depan lemari pakaian sederhana dalam kamar rumah kontrakannya. Keluar menuju ruang tengah dimana teman serumahnya Hanida sedang menonton sebuah acara dari saluran TV kabel.

Hanida melipat kaki di atas sofa. Gadis berkacamata itu asik mengunyah-ngunyah snack keju yang tinggal setengah di stoples sedang matanya belum juga berkedip. Joa mendekati Hanida, melirik ke televisi lalu mendengus.

“Acara masak-masak lagi. Kamu nggak bosan?”

Halida menggeleng. Gadis itu mengambil snack keju berbentuk bola-bola dari dalam stoples. Memasukkannya ke mulut dan langsung menelannya setelah sekali kunyahan.

“Hujan, mau kupinjami mobil?” tanya Hanida, tanpa memperhatikan Joa yang sebenarnya ingin penampilannya malam itu dikomentari. Hanida sedang fokus-fokusnya melihat bagaimana cara agar ikan tidak lengket di permukaan wajan ketika digoreng.

“Iya, nggak mungkin aku naik motor hujan-hujan begini,” jawab Joa. Gadis itu berjalan mendekat ke kulkas. Mengambil gerendel kunci mobil Hanida yang digeletakkan begitu saja.

“Kamu janjian bertemu dimana?” Hanida menoleh. Sejurus kemudian matanya lekat mengamati pakaian yang Joa kenakan.

Joa menggunakan sweter turtle neck lengan panjang warna putih tulang dan memadukannya dengan celana jins warna abu-abu.

“Wow, sepertinya di luar turun salju bukan hujan,” kata Hanida. Lebih mirip cibiran sarkas.

Joa tertawa. Berjalan menghampiri Halida, mengecup ringan pipi gadis itu.

“Aku pergi ke Epic dulu ya,” katanya dan langsung melesat pergi.

Tubuh kurus Joa limbung ke belakang ketika pintu rumah terbuka. Beruntung tangannya kuat memegangi dahan pintu kala angin dingin kencang menerpa tubuh kurusnya.

Hujan masih turun, amat deras. Belum ada tanda-tanda kalau hujan akan berhenti.

Joa menarik ujung lengan sweter yang dia pakai ke atas, agar dapat melihat pendulum jam tangan. Gadis itu tersenyum kecut. Dalam hati mulai merapal doa, berharap tidak tertahan macet di ruas jalan Rembiga.

***

-Lombok Epicentrum Mall, 19.20 WITA

Joa merasa beruntung memiliki sepasang kaki jenjang nan ramping yang membuatnya bisa melangkah lebar-lebar dengan amat ringan. Doa yang dia rapalkan sungguh-sungguh di dalam hati tadi ternyata tidak di dengar yang Maha Kuasa. Mobil pinjaman yang Joa kendarai terjebak macet di ruas Jalan Rembiga-Gunung Sari. Selama hampir dua puluh menit tertahan di dekat pertigaan perumahan Angkatan Udara. Diperparah pula oleh hujan yang masih betah turun.

Beberapa kali Joa mengecek ponselnya, takut-takut Ezra mengirim pesan. Sebelumnya Joa sudah memberi kabar kalau dia tidak bisa datang tepat waktu. Namun Joa tetap tak bisa menampik rasa was-was. Gadis sepertinya adalah tipikal yang ingin semua tentang pekerjaan berjalan sesuai yang seharusnya: lancar dan sempurna. Telat pada janji temu pertama baginya merupakan pertanda buruk.

Dari kejauhan Joa bisa melihat Ezra yang berpakaian santai. Hanya kaus polo pas badan warna biru dongker dipadu dengan celana pendek putih dan sneaker warna senada. Pria itu memesan americano panas seperti biasa.

Aroma biji kopi yang di roasted dalam mesin kopi makin kuat tercium ketika Joa hampir mencapai kedai. Gadis itu menyerukan nama Ezra cukup keras. Membuat si empunya nama menoleh kemudian melambai-lambaikan tangan sambil menyungging senyum selamat datang.

Sorry, aku kejebak macet di Rembiga,” jelas Joa setibanya di meja tempat Ezra menunggu.

Joa buru-buru menarik kursi kayu yang ada di seberang Ezra. Lantas duduk meluruskan kakinya yang lumayan pegal.

“Kamu sendirian Zra? Mana teman yang kamu ceritakan itu?”

“Sama sepertimu, dia juga terjebak macet,” jawab Ezra. “Jo, thank you ya. Memang cuma kamu yang bisa aku andalkan.”

Joa tersenyum lembut.

“Tentu saja kamu harus mengandalkan aku. Cuma aku saja temanmu yang nggak terikat jam kantoran,” kata Joa diselipi candaan. “Karena aku nggak punya kantor…” tawa Joa berderai panjang.

Ezra mengerutkan pangkal hidung. “Aku iri padamu, Jo,” ujarnya.

Pria berpotongan rambut cepak tentara itu berdiri. Berjalan ke konter pemesanan untuk memesan segelas americano dingin kegemaran Joa.

“Jo, mau ekstra caramel?” tanya Ezra dengan berseru.

“Enggak.”

Joa tengah hilang minat minum sesuatu yang manis. Sebagai gantinya begitu menggebu menunggu segelas americano pahit mendarat di meja.

“Kamu sudah pelajari outline naskah yang kukirim?” tanya Ezra sesaat setelah duduk kembali di kursinya.

“Sudah. Aku juga sudah mapping destinasi-destinasi mana saja yang akan kami kunjungi mulai besok.”

“Bagus. Pastikan kamu membawanya ke destinasi wisata yang sesuai dengan deskripsi di outline naskah yang kuberikan.”

“Tenang Zra. Kujamin temanmu itu akan mendapatkan apa yang dia inginkan. Serahkan padaku.”

“Ya, aku percaya padamu. Dan secara nggak langsung keberhasilan novelnya juga jadi tanggungjawabmu Jo.”

Joa mengangguk mantap lalu bersedekap. Sedang di depannya Ezra mulai gelisah, terus melirik ponselnya yang digeletakkan di atas meja.

“Dia belum menghubungiku lagi. Terakhir dua puluh menit yang lalu dia bilang masih menunggu taksi di lobi hotel,” Ezra tanpa sadar menggigit-gigiti bibir bawahnya. Tunjukkan jika dia khawatir. “Harusnya aku memaksanya agar mau kujemput.”

Joa hanya balas tersenyum. Sebab tidak bisa membantu apa-apa, berkomentar saja tidak bisa. Tidak pantas lebih tepatnya.

Americano dingin yang Joa nanti-nantikan mendarat di meja tepat di saat dia menginginkannya. Melihat Ezra sibuk dengan ponsel lengkap dengan raut wajah was-was membuat Joa memutuskan untuk tutup mulut dan mengarahkan seluruh perhatiannya pada segelas americano dingin dalam gelas di genggamannya.

Pria yang malam ini akan Ezra kenalkan pada Joa adalah teman karibnya semasa SMA. Nama pria itu Inar, seorang penulis dengan karya-karya bestseller. Secara tidak terduga, Joa pernah membaca beberapa karya Inar seperti Hujan dan Senja Kemarin. Joa akui, dia jatuh cinta pada rangkaian kata-kata dalam novel Inar. Pria itu mampu menulis sebuah kisah romantis menggunakan sudut pandang seorang perempuan. Rasa yang dia hantar dalam bait-bait kata rangkaiannya begitu dalam. Kepekaan perasaan dalam novel-novel karyanya bahkan melebihi pekanya seorang perempuan yang putus cinta.

Joa begitu mengantisipasi pertemuannya dengan Inar. Joa dibuat penasaran pada sosok penulis itu. Karena sudah menjadi rahasia umum jika Inar penulis yang sulit dilacak. Inar tidak mau berhubungan dengan media, tidak ada yang tahu seperti apa rupa Inar, pun dia selalu menolak tawaran berbagai Production House yang ingin memfilemkan novelnya. Inar amat nyaman dengan kehidupan anti sorot kameranya itu. Dan ya.. Joa sedikit banyak memahami pilihan Inar untuk jauh-jauh dari publik karena menjadi sorotan tidak selalu menyenangkan.

“Dia sudah sampai. Aku akan menjemputnya di lobi. Tunggulah di sini Jo, jangan kemana-mana.”

Joa mengangguk, mempersilahkan Ezra pergi tanpa sedikit pun mengintrupsi. Seperginya Ezra, Joa buru-buru mengeluarkan cermin dari dalam tas pundaknya yang tersampir di punggung kursi. Ada celah untuk merapikan penampilan. Buru-buru Joa merapikan rambut pendek sebahunya, menyisir menggunakan jari-jari tangan. Joa juga memperhatikan baik-baik dandanannya. Dia pastikan tidak ada noda di wajah yang merusak penampilannya.

Tepat setelah Joa menyimpan kembali cermin ke dalam tas, Ezra datang. Bersama seorang pria jangkung berbadan tegap. Pria itu memakai kemeja abu-abu, dipadukan dengan celana chino hitam. Sepasang Nike keluaran terbaru menyempurnakan outfit semi formalnya.

Joa kontan berdiri ketika pria itu tiba di ambang kedai kopi. Menunggu pria itu tiba di hadapannya kemudian mengelungkan tangan untuk dijabat.

“Joa.”

Pria itu menerima elungan tangan Joa. Menjabat tangan Joa erat.

“Inar.”

Mereka saling tatap, tepat di mata. Dari situ Joa dapat dengan jelas melihat manik mata Inar yang berwarna cokelat. Dalam sekali pandang Joa langsung tahu jika pria di hadapannya adalah anak hasil pernikahan campuran. Wajahnya sangat asia dengan mata bulat yang meruncing di ujung, alisnya tumbuh lebat, berwarna hitam legam serupa rambutnya yang disisir rapi ke samping. Kulit Inar putih pucat, Joa bisa melihat pembuluh darah Inar menyembul dari balik kulit bagian leher.

Decit suara kaki kursi yang Ezra duduki membuat Joa dan Inar sadar jika mereka masih berjabatan tangan. Keduanya buru-buru melepaskan jabatan tangan dan duduk. Inar duduk di seberang Joa. Secara terang-terangan mengamati Joa.

Joa sendiri yang tengah diamati dengan tatapan penuh selidik merasa kikuk. Alasannya sangat klasik dan cukup murahan. Sebab Inar tampan, ditambah punya tatapan mematikan. Perempuan mana yang tidak gila menerima tatapan sepert itu dari seorang pria tampan!?

“Jadi Nar, Joa ini yang nantinya akan menemanimu selama di Lombok. Seperti yang kamu perintahkah aku sudah memberikan outline novelmu pada Joa dan Joa sudah mempelajarinya,” Ezra mengurai penjelasan pada Inar yang belum melepaskan pandangannya dari Joa yang berlagak baik-baik saja.

“Aku sudah melihat semua vlog di channel youtube-mu. Ada beberapa konten yang menurutku idenya terlalu biasa. Tapi kamu bisa menutupinya dengan kemampuan bicaramu.”

Rahang Joa serasa jatuh mendengar penilaian dari Inar. Pada pertemuan pertama dan pada percakapan yang baru akan dimulai Inar memberikan penilain jujur –lumayan pedas- pada vlog Joa… Gadis itu berdoa agar dia diberi kekuatan agar tetap bisa duduk tegap.

“Aku juga sudah membaca novelmu. Hujan dan Senja Kemarin, tidak ada cela,” Joa menyelipkan anak rambutnya yang menganggu ke belakang telinga. “Seorang penulis hebat. Sepertinya aku harus belajar bagaimana cara mengolah ide biasa-biasa saja menjadi sesuatu yang luar biasa darimu.”

Inar tersenyum miring, “Tentu saja, dengan senang hati.”

Pria itu lantas berdiri. Berjalan dari balik meja menuju konter untuk memesan minuman. Seperginya Inar, Joa merosot di kursinya.

“Maaf karena lupa memberitahumu kalau Inar punya kepribadian yang ya…” Ezra membuat lingkaran di dekat pelipis menggunakan telunjuknya. “Tapi tenang saja, dia akan melunak seiring berjalannya waktu.”

“Untung temanmu itu tampan, kalau nggak mungkin aku sudah walk out.”

“Aku kenal banget sama kamu Joa…” Ezra menyeruput americano panasnya lagi sambil curi-curi melirik Inar yang masih menyelesaikan transaksi pembayaran menggunakan debit card. “Pokoknya selama nemenin Inar di sini kamu ikutin saja semua mau dia. Sedikit kontrol mulutmu juga. Aku nggak mau dengar kabar kalian bertengkar.”

Joa menjulurkan kepalanaya ke depan, ke arah Ezra. “Memangnya dia banyak omong juga ya? Biasanya penulis ‘kan punya image pendiam.”

“Lihat saja nanti. Dalam hitungan hari kamu bakal tahu pribadi seperti apa Inar itu.”

Joa mengerucutkan bibir sebab jawaban Ezra yang sama sekali tidak memuaskannya. “Eh, apa Inar punya-”

Pertanyaan Joa terputus sebab Inar sudah lebih dulu kembali. Berjalan membawa cangkir espresso mungil. Dengan lagaknya yang angkuh, Inar kembali duduk, menyeruput sedikit espresso pekat lantas kembali menatap Joa. Tepat di mata.

“Bisa kita mulai pembicaraan tentang pekerjaan sekarang?” tanya Inar, suaranya rendah dan dalam.

***

-Perumahan Mavilla Rengganis, Bajur Lombok Barat 22.25 WITA

“Dia menatapku tepat di mata. Bayangkan!”

Ketiga sahabat Joa telatin mendengarkan sahabat mereka yang tengah mendongengkan cerita pertemuannya dengan seorang penulis terkenal bernama Inar. Nji yang tiba di Lombok pagi tadi tiduran di atas kasur, sedang yang lain memilih lesehan beralaskan karpet bulu.

“Kamu nggak menatapnya balik?” Nji menggigit ujung cokelat batangan yang dia beli ketika transit di Changi Airport Singapura. “Jangan bilang kamu nggak berani natap dia balik gara-gara dia tampan. Tck, penyakit lama kambuh.”

“Nin, ingat nggak waktu itu ada yang bilang kalau nggak akan berhubungan dengan cowok manapun untuk beberapa waktu.”

Nin mengangguk, bersama Lie Lie melirik Joa yang tidak perduli dan malah asik memakan camilan yang disediakan orang tua Nji.

“Come on girls… Ini masalah kerjaan…”

“Tapi kamu terang-terangan kelahap pesona dia,” balas Lie Lie sengit. Direbutnya setoples stik goreng dari penguasan Joa. “Ganteng banget ya?”

Hmm…” Joa mengangguk takzim.

Gadis itu melempar ponselnya ke arah Lie Lie. Sahabatnya sontak berteriak histeris.

“Cowok yang di Sunset House Senggigi!?” Lie Lie kelojotan seperti cacing tersiram bubuk detergen.

Nin langsung merebut ponsel Joa dari tangan Lie Lie. Gadis itu tersenyum muram dan kemudian menyerahkan ponsel pada Nji yang sangat penasaran tapi tidak punya hasrat bangkit dari kasur empuknya.

“Kebetulan sialan!” Joa mendesis kesal. “Selain harus berpura-pura baik-baik saja, aku juga harus berpura-pura belum pernah bertemu dengannya.”

“Dramatis,” komentar Nji. “Kamu langsung mengenalinya Jo?”

“Enggak. Awalnya. Tapi lama-lama aku merasa pernah melihat cowok itu di suatu tempat. Kemudian aku membuka foto-foto sunset di Sunset House. Dan begitulah, siklus menyebalkan yang kalau bisa pengin kuusir jauh-jauh.”

Baik Lie Lie dan Nin, keduanya menatap Joa dengan tatapan meminta belas kasihan. Dua gadis itu bergerak mendekati Joa. Memeluk tubuh Joa dari samping secara bersamaan.

“Ajak aku bersamamu ya. Aku ingin bertemu dengan cowok itu,” pinta Nin penuh harap. Dia sampai memohon-mohon tanpa melepaskan pelukannya pada tubuh Joa.

“Ajak aku juga,” imbuh Lie Lie tidak mau kalah.

Joa menggeleng. Sekuat tenaga mencoba melepaskan diri dari dekapan Nin dan Lie Lie.

“Aku nggak bisa mengikutsertakan kalian berdua jika menyangkut pekerjaan,” tegas Joa.

“Bagus Joa! Teruskan!” Nji berseru semangat.

Joa berdiri. Berjingkat ke kasur dan langsung membenamkan tubuhnya ke dalam selimut. Nji sengaja bergeser agar Joa bisa turut meringkuk di sampingnya.

“Maafkan aku karena nggak ada disismu waktu kamu down,” kata Nji. Gadis mungil itu membenarkan letak bantalnya yang merosot sampai menyentuh punggung. “Joa, apa benar kata mereka kalau kamu menangis?”

“Ya,” Joa tersenyum simpul. “Penolakan itu menyakitkan Nji, terlepas aku menyukai dia atau enggak.”

Nji memutar tubuh menghadap Joa lantas menyangga kepalanya dengan tangan.

“Jangan berhubungan dengan cowok manapun dulu Joa. Fokuslah dengan kebahagiaanmu sendiri,” nasihat Nji. “Termasuk dengan cowok yang sekarang terlibat urusan pekerjaan denganmu. Mau seganteng apa dia, jangan sampai kamu jatuh hati.”

“Tenang Nji, aku nggak akan dengan sadar menjatuhkan diriku ke kobaran api.”

“Maksudmu?” ruang di antara sepasang alis hitam Nji berkerut dalam.

“Dia Inar, penulis bestseller. Aku nggak mungkin main-main sama dia. Kita berdua nggak sepadan.”

Nji menghadiahkan sebuah jitakan di dahi Joa. “Ingat, kamu Joa. Travel vlogger yang videonya sudah dilihat ribuan kali dan punya ribuan subscriber.”

“Tapi aku nggak punya kantor, gimana dong?”

Jitakan mendarat lagi di dahi Joa.

“Nggak penting kamu punya kantor atau nggak. Yang terpenting itu pendapatan kamu setiap bulan jauh lebih banyak daripada kami bertiga,” Nji melempar bantal ke arah Nin dan Lie Lie. Kedua gadis yang betah duduk-duduk di karpet bulu itu memandang Nji penuh tanda tanya. “Hei kalian berdua ada waktu malam Minggu nanti? Joa mau mentraktir kita makan di XO Suki.”

“Yak!!!” Joa berteriak keras.

Nji mengedikkan bahu tidak perduli kemudian buru-buru memutar tubuh memunggungi Joa yang bersungut kesal.

 

 

 

 

Tinggalkan komentar